Mohon tunggu...
Siwi W. Hadiprajitno
Siwi W. Hadiprajitno Mohon Tunggu... Freelancer - Pewarta Penjaga Heritage Nusantara.

Energy can neither be created nor destroyed; rather, it can only be transformed or transferred from one form to another.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Taruna

30 Maret 2019   07:27 Diperbarui: 30 Maret 2019   09:14 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hebe The Goddess of Eternal Youth - bugwomanlondon.com

Setelah 'perjuangan' membuat satu artikel demi mendapatkan 13 poin dan mendapatkan komentar maupun nilai (rating) dari Kompasianer (thanks to rekan-rekan yang sudah mengomentari dan memberikan nilai buat tulisan-tulisanku), akhirnya aku naik pangkat (juga) jadi Taruna. Poin yang terkumpul sebelum tulisan ini tayang adalah 1.522. Wah. Melebihi target sebanyak 1,39 % (dari target lulus ambang batas 1.501, hahaha!)

Lalu....  so what

Emang kenapa kalau sudah menjadi Taruna? 

Bisa buat petantang-petenteng di terminal Blok M seolah preman penguasa wilayah? Atau ngaruh ke penghasilan bulan Maret-April 2019 sehingga bisa traktir teman satu ruangan dengan kopi Setarbak yang lagi diskon karena program Line hari ini, 29 Maret 2019? 

Ya nggak gitu juga sih ya.

Ini adalah sebuah proses. Proses apa, tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Bagiku ini adalah proses pembuktian-pembuktian. Entah bagimu.

Pembuktian-pembuktian apa aja?

Pembuktian bahwa dunia digital dan segala 'uba rampe'-nya, yaitu internet dan media sosial, adalah media interaktif. Buktinya, paling tidak, ada komentar yang mampir ke artikel "Ngumpulin 13 Poin" itu. 

Pembuktian tentang ketidaksabaran. Buktinya, setelah berhasil menayangkan 1 artikel, dan poin nggak nambah-nambah (karena mesin Kompasiana sibuk mengkalkulasi) akhirnya terbit satu tulisan lagi. Dan satu tulisan lagi. Manusia memang kemaruk.  

Pembuktian bahwa angka 13 adalah angka sial. Naaah, kalau ini, untuk kasus ini nggak terbukti. Buktinya dalam selang beberapa jam saja, dari Junior aku bisa jadi Taruna. 

Pembuktian peribahasa "Berrakit-rakit dahulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Terbukti sih. 'Sakit-sakit' dulu bikin artikel, akhirnya senang karena naik pangkat. 

Pembuktian pepatah Jawa yang berbunyi, "Ojo mangro mundak kendo". Artinya, jangan berfikir mendua atau tidak fokus, agar tidak luntur niat dan semangat. Terbukti bahwa bila kita fokus pada satu tujuan, dan bersungguh-sungguh, maka tujuan kita akan terlaksana, target kita tercapai. Fokus untuk naik pangkat dan mikirin gimana caranya, semangat dan sungguh-sungguh bikin tulisan, endingnya beneran naik pangkat. 

Pembuktian atas pepatah “To move forward, you must first take a step”― Chase S.M. Neill. Ya. Untuk beranjak ke depan menjadi Taruna, langkah pertamanya ya menulis. Dan, sudah rahasia umum, langkah pertama selalu yang terberat. 

Tapi ngomong-ngomong soal Taruna, ternyata di Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI) tidak kutemukan kata itu. Kata 'taruna' tidak ada, yang ada: 'teruna'.  Menurut KBBI, 'teruna' dieja te.ru.na adalah kata benda yang memiliki pengertian sbb:
(1) pemuda; muda: anak teruna, muda teruna , pemuda, anak muda;
(2) pelajar (siswa) sekolah calon perwira; kadet;
(3) pria remaja yang masih bujangan

Kata 'taruna' dengan huruf kedua 'a', bukan 'e', malahan ada pada bahasa Sanskerta dan bahasa Kawi, Jawa Kuno. Artinya: muda (laki-laki). Untuk perempuan, Taruni. 

Di tahun 80-an, ada istilah yang menggunakan kata 'taruna', yaitu kegiatan remaja di level Kecamatan maupun wilayah administratif di bawahnya yang diwadahi dalam sebuah organisasi yang bernama Karang Taruna. Aku nggak tahu apakah organisasi masih ada di era sekarang. 

Selain itu, ada pula nama Sri Taruna Jaya. Nama ini dikenal di Bali sebagai nama raja di Bali. Beberapa sumber tutur dan tulis baik Prasasti, Purana, Piagem, Babad, Prakempa dan Pamancangah disebutkan nama Sri Taruna Jaya adalah salah satu raja yang memerintah pada sekitar tahun 1226 Saka.  

Ada salah satu kepustakaan kuno di Pulau Jawa yang menceritakan tentang Banten yang memuat kata taruna. Pustaka kuno itu adalah  Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara, parwa II sarga 4, dan Pustaka Pararatwan i Bhumijawadwipa, parwa I sarga 4, meriwayatkan secara rinci tentang tokoh Syarif Hidayat (sumber: scribd.com, Sejarah Kerajaan Tatar Sunda): 

Cuplikannya berbunyi sebagai berikut: ri sampunya syariph hidayat yuswa taruna / akara Twang puluh warsya / rasika dharmestha mwang ahyun dumadyaken accaryagameslam / matangyan lungha to ya ring mekah // ri kanang rasika maguru ring seh tajuddin al kubri laurasnya rzuang warsya/ irika to ya ringseh ataullahi sajjilli ngaran aranung panganutanya imam saphii// ring huuncs Twang warsya / tumuluy rasika lungha ring kitha bagdad/ ng kana magunn tasawwuph rasul laman tamolah ing pondok unuang pasanak rama nira // tumuluy mulih to ya ring masimagan // syariph hidayat urns makolih akweh ngaran ira ya to sayid al kamil seh nurrudin ibrahim ibnu maulana sultan mahmud cl khibti ngaran ira waneh //

Terjemahannya:

Sesudah Syarif Hidayat menjadi pemuda, baru berusia dua puluh tahun, bersikap saleh dan ingin menjadi guru agama Islam. Oleh karena itu pergi dari Mekah. Di sana berguru kepada Syekh 'Tajuddin al Kubri, lamanya dua tahun. Pada waktu itulah, dari Syekh Athallahi Sajjilli, ia mengetahui nama anutan mazhab Imam Syafi'i. Selesai dua tahun. 

Selanjutnya pergi ke kota Bagdad. Di sana berguru Tasawuf Rasul dan tinggal di pesantren saudara ayahnya. Selanjutnya pulang ke negeri Mesir. Syarif Hidayat sudah mendapatkan banyak nama, yaitu Sayid Al Kamil, Syekh Nuruddin Ibrahim ibnu Maulana Sultan Mahmud Al Khibti nama lainnya.

Dalam Bahasa Jawa, 'taruna' terlafazkan menjadi 'taruno' atau 'truno' (dengan bunyi 'o' seperti pada nama 'Soekarno') meskipun dituliskan sebagai 'truna'. Ingat 'truna' atau 'truno', maka aku jadi ingat nama tokoh Trunojoyo/Trunajaya. Pasti yang dimaksudkan adalah 'Tarunajaya', dari kata 'taruna' dan 'jaya', bermakna 'pemuda yang menang'. 

Trunojoyo atau Raden Trunojoyo bergelar  Panembahan Maduretno adalah seorang bangsawan Madura yang pernah melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Amangkurat I (putra dari Sultan Agung Hanyokrokusumo) dan Amangkurat II (putra Amangkurat I) pada masa kerajaan Mataram. 

Dikisahkan, Pasukan Trunojoyo yang bermarkas di Kediri menyerang keraton Mataram pada tahun 1677. Akibat serangan ini Amangkurat I melarikan diri dan meninggal dalam pelariannya. Trunojoyo dikalahkan Mataram dengan bantuan dari VOC di akhir tahun 1679.

Ada juga nama Putuk Truno, tempat wisata air terjun di kaki gunung Welirang dan Arjuno, kawasan Prigen, kota Pasuruan, Jawa Timur. Putuk dibaca sebagai 'puthuk' dengan menggunakan huruf Jawa 'tha', artinya adalah sebuah tempat di dataran yang tinggi. Sedangan Truno dari kata'taruna'/'taruno'. Legenda tentang Putuk Truno ini bisa dibaca di artikel Kompasiana berjudul "Cinta Abadi Sri Gading Berakhir di Putuk Truno" (Mawan Sidarta, 21 Maret 2015). 

Ringkasnya, legenda itu adalah kisah cinta antara Joko Taruno (atau Joko Truno, disebutkan sebagai putra Prabu Hayam Wuruk dari salah satu selirnya) dengan Sri Gading Lestari (remaja putri kalangan ningrat, putri dari Arya Wiraraja, Adipati Madura). Ayah Sri Gading Lestari tidak merestui hubungan percintaan itu sehingga Sri Gading Lestari disembunyikan di Coban Baung, kawasan Purwodadi, Pasuruan dengan diberi benteng gaib di sekelilingnya. 

Atas nama cinta, Joko Taruno bertapa hingga memiliki kesaktian dan berhasil menembus benteng gaib yang memagari Sri Gading Lestari. Keduanya berhasil bertemu dan melarikan diri menuju air terjun yang kini dikenal dengan nama Air Terjun Putuk Truno. Mereka pun hidup happily ever after. Tak pelak, Air Terjun Putuk Truno mendapat predikat sebagai lambang keabadian cinta. 

Itu legendanya. Meskipun perlu dicermati lagi tentang penyebutan Arya Wiraraja dan Prabu Hayam Wuruk dalam legenda di atas, karena, dirunut dari sejarah, timeline Arya Wiraraja sejajar dengan Raden Wijaya (kakek dari Prabu Hayam Wuruk). Arya Wiraraja wafat pada tahun 1316 Masehi sedangkan Hayam Wuruk lahir pada tahun 1334. 

Sehingga terdapat selisih masa jeda sebesar 18 tahun, alias kedua tokoh itu 'tidak pernah bertemu dalam satu timeline'. Apalagi dari perhitungan empiris berdasarkan data pada Babad Pararaton bahwa menjadi Arya Wiraraja menjadi Adipati Sumenep pada usia 37 tahun, maka perkiraan tahun lahir Arya Wiraraja adalah pada 1232 Masehi. Sehingga terdapat jeda timeline dengan Prabu Hayam Wuruk sebesar 102 tahun alias satu abad.   

Lah.

Kenapa jadi panjang ngebahas ini yak?

Kembali ke laptop.

Jadi, mau teruna atau taruna, keduanya memiliki makna yang similar yaitu 'muda' atau 'pemuda/pemudi'.

Aku Taruna. Di dunia Kompasiana, aku masih tergolong muda atau pemuda/pemudi.  Asyik! Makanya aku jadi inget Hebe, Dewi Masa Muda. The Goddess of Eternal Youth di mitologi Yunani. 

Untuk naik pangkat lagi aku perlu poin banyak sekali karena setelah ini adalah Penjelajah. Wih, keren, namanya. Penjelajah, explorer! Sayangnya yang kebayang tentang explorer malah Dore The Explorer. Gadis Cilik dengan ransel ungu di punggung yang rambut poninya menutupi dahi dengan kaos pink dan celana pendek orange serta jam tangan unyu di pergelangan kanan. Hahaha! Jauh dari elegan dibanding Hebe. 

Range poin Penjelajah adalah 10.001-50.000. Jadi dengan bekal 1.522 poin, aku harus ngumpulin 8.479 poin lagi. Jalur normalnya, harus kuposting artikel sebanyak 1.696 buah. Jika ingin menjadi Penjelajah dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, katakanlah satu tahun, maka aku perlu menulis  sebanyak 5 hingga 6 artikel dan mempostingnya tiap hari. 

Pegel juga sih kayaknya. Kalau rada selow, 2 tahun, perlu 2 - 3 artikel per hari. Fyuh, itu pun masih pareugeul. Kalau sehari satu artikel, lima tahun lagi lah aku naik pangkat jadi Penjelajah. Itu bakal terjadi di 2024. Dengan catatan jika Tuhan masih memberiku umur panjang. 

Baeklah.

Sampai jumpa di 2025. Barangkali nanti ilustrasi gambar artikel perdanaku di tahun itu adalah Si Dora yang bertas ransel ungu. Jika nanti aku jadi Penjelajah, ya, alhamdulillah. Jika tidak, ya nggak papa juga ah

Kramat Pela, 29 Maret 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun