Mohon tunggu...
Siti Zainatul Umaroh
Siti Zainatul Umaroh Mohon Tunggu... -

Historian, writer, and bookworm

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Senjatanya Orang Kalah (Sebuah Ulasan)

24 Desember 2017   09:29 Diperbarui: 24 Desember 2017   09:53 1691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

  • Judul Buku               :Senjatanya orang-orang kalah
  • Penulis                       :James C. Scott
  • Penerbit                     :Yayasan Obor Indonesia
  • Tebal Halaman          : 511 halaman
  • Cetakan Pertama      :Juni 2000

Membaca buku karangan James Scott dengan setting tempat negeri Malaysia ini tak ubahnya merefleksikan saya pada kondisi serupa di Indonesia yang tak jauh beda pada  masa Orde baru (periode yang sama dengan  setting waktu penelitian scott dibuku ini), tentang kegelisahan-kegelisahan petani miskin atas tekanan Tuan Tanah, atas ketidakmampuan petani kecil bertahan dari arus teknologi hasil Revolusi hijau dan atas ketersingkiran mereka atas opresi partai politik yang berpengaruh (golkar pada saat itu).

Tulisan ini merupakan sebuah studi etnografi yang lengkap tentang sejarah kaum tani di Malaysia,saya beranikan menggunakan klaim "lengkap'' karena keberhasilannya merekam jejak jejak narasi perlawanan para petani di Sandaka, orang-orang kecil yang terbukti memiliki sejarahnya sendiri, dihadirkan dalam serpihan tulisan sejarah kecil (petit histoire) namun memiliki makna historis yang mendalam. 

Ketajaman Scott diuji saat Ia berhasil membangkitkan alam bawah sadar pembaca bahwa membahas sejarah politik tak melulu berbicara tentang orang-orang besar, tapi Scott mencoba memotret dari angle yang berbeda, ia singkirkan segala ruang-ruang politik yang biasa diisi oleh diskusi tentang tokoh pergerakan, pahlawan, atau ide-ide besar yang mengilhami pergerakan.

Temuan scott yang mungkin tak dimiliki oleh peneliti lain yakni keberhasilannya dalam mengupas fakta sifat menonjol sejarah Melayu didaerah Sendaka dan Muda, adalah bahwa negara tidak sepenuhnya berhasil hadir sebagai mekanisme yang efektif untuk mengeksploitasi kaum tani. Masyarakat melayu cenderung untuk memobilisasi kekuatan dan perpindahan massal secara kolektif komunal sebagai bentuk pelarian diri dan obat paling mujarab atas kepedihan belenggu penjajahan. 

Namun demikian, kondisi ekologis dan sosial yang lebih menguntungkan di daerah daerah tujuan migrasi orang melayu menjanjikan bagi timbulnya bentuk-bentuk konflik kelas yang lebih dramatis. Besarnya perjumpaan terhadap kemiskinan, tai bukan penderitaan yang hebat,ketidaksamaan atau ketimpangan tetapi bukan disparitas yang sangat mencolok, sewa pajak yang menjerat namun bukan beban yang menghancurkan. Salah satu keuntungan mempelajari konflik kelas dalam keadaan sepert itu adalah adalah menemukan keunikan sebuah daerah yang kaya akan perlawanan atas dasar kelas  meskipun daerah itu mayoritas penduduknya justru makmur.

Di barat, sebagaimana diusung Karl Marx dan berbagai aliran pemuja pemikirannya, mereka menempatkan Ideologi sebagai senjata untuk menajamkan kesadaran kaum buruh dan tani untuk bangkit menuntut (sedikit)hak-haknya lewat perjuangan kelas dan mobilisasi masa yang sistematis, terorganisisr dengan rapi dan memiliki target-target berskala nasional yang jelas. Protes terbuka yang menggelora dan melakukan agitasi politik untuk melakukan kudeta bila perlu.

Hadirnya buku ini berhasil menawarkan fenomena pemberontakan kaum tani yang sama sekali berbeda, begitu unik dan perlawanan gaya khas Asia Tenggara. Petani-petani Asia tenggara tidak memiliki Ideologi dan bahkan tak butuh ide-ide kesadaran tersebut. Mereka memilih tipe-tipe perlawanan kecil setiap hari yang penuh dengan kesabaran dan kehati-hatian. 

Mereka mencuri sedikit-sedikit, memperlambat kerja, pura-pura sakit, pura pura bodoh, di depan "Tuan tanah" mengangguk "ya" tapi dibelakang mengumpat, menjalankan operasi sabotase gudang majikan di malam hari, bergosip untuk menyelamatkan diri sendiri dan menjatuhkan nama baik Tuan-tuan mereka yang menindas kehidupannya. Dengan cara-cara demikian, kaum tani yang tertindas menyatakan kehadiran politiknya dan menciptakan ruang ruang politik bagi orang yang tidak dianggap (sub altern).

Bab pertama buku ini dibuka dengan judul Tembakan senjata ringan dalam perang kelas. Kemudian diskusi bergulir tentang penciptaan tokoh-tokoh (tokoh nyata yang ditemui scott dalam peneltiannya dilapangan) yang saling mereprsentasikan perwakilan masing-masing kelas yang saling berkontestasi. Narasi yang dibangun berfokus pada tokoh Haji Broom, seorang kaya raya yang mengakumulasi income seluruh penduduk desa melalui penguasaan tanah  (hampir sebagian besar sertifikat tanah diperoleh dengan jalan jalan yang tidak terhormat dan menipu warga dengan jerat bunga hutang yang mencekik leher petani miskin)

Tokoh kedua adalah Razak, seorang petani miskin papa dengan frustasi yang hebat atas kegetiran hidup sehingga membuatnya justru tegar menghadapi caci maki, penghinaan bahkan stigma negative atas upaya upayanya bertahan sebagai petani subsisten untuk sekedar hidup (karena anak perempuannya mengalami kematian akibat kemiskinannya). Razak berhasil masuk ke dalam partai yang mengangkat namanya untuk mendapat keuntungan-keuntungan pribadi dalam jabatannya di organisasi sehingga hal ini ditangkap sebagai bentuk-bentuk perlawanan dan perimbangan kekuasaan simbolis kaum kaum yang tersingkir atas hegemoni tuan tanah kaya dan penindas kaum tani.

Cerita-cerita yang beredar tentang Razak dan Haji Broom dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai analisis gejala propaganda. Seperti hal nya dengan propaganda yang efektif, ia melambangkan dan memuat keseluruhan argumentasi mengenai apa yang sedang terjadi dikampung yang kecil tersebut. Deskripsi Haji Broom dan Razak memperoleh banyak dari kekuasaan mereka sebagai simbol karena realitas mereka. 

Sebagai contoh-contoh tentang manusia yang kongkret tentang perilaku yang menaksir panji-panji sosial kaum miskin dan Tuan tanah kaya yang saling bertentangan kehidupan materi dan perwatakannya.Yang menarik adalah pandangan Scott bahwa meskipun orang kaya di sendaka seperti Haji Broom memiliki legitimasi dan kebal terhadap hukuman material, namun mereka tak dapat lepas dari hukuman simbolis : gossip, fitnah, hujatan dan perusakan nama baik. Disinilah scott menyampaikan gejala perang simbol dalam tradisi lisan masyarakat.

Bab II, Eksploitasi Normal, Perlawanan Normal, Scott mengurai tentang gagasan munculnya gaya khas perlawanan petani kecil sandaka yang dibaca sebagai sejarah perlawanan yang tidak tertulis. Untuk mempermudah pembaca memahami konteks bab dalam tulisan ini Scott memberikan apersepsi menarik dengan menyitir kalimat legendaris March Bloch, dalam Rural History "karena nasibnya hampir selalu kalah dan akhirnya dibantai secara massal, bahkan pemberontakan yang besar sama sekali tidak taktis untuk mencapai sebuah hal yang lestari karena pemberontakan orang-orang kecil hampir selalu ditindas. 

Pertimbangan ini didukung fakta historis sepanjang catatan sejarah bahwa pada suatu revolusi yang didukung petani benar-benar berhasil mendapatkan kekuasaan, maka akibatnya paling banyak adalah apa yang diperjuangkan akan digantikan oleh munculnya aparat pemerintah baru yang berkuasa dengan tetap menindas dalam bingkai rezim baru.

Secara eksplisit, Scott terpapar  ide-ide  perlawanan Bertold Brechtian yang mengunggah kesadaran kaum buruh kecil di Jerman lewat puisi dan pertunjukannya di Jerman masa Perang Dunia II. Ia meyatakan bahwa model-model perlawanan yang bersifat Brechtian ternyata luar buasa signifikan, tidak sepele dampaknya seperti tindakan desersi. 

Scott berargumentasi bahwa cara-cara membongkar konsep fetistik dalam masyarakat petani dilakukan dengan  mengambil sikap skeptic terhadap apa yang tampak langsung pada masyarakat kapitalis yang mengevaluasi hubungan antara ide-ide kelas penguasa dengan kepentingan yang ada dibaliknya bermuara pada dorongan angkitnya kesadaran perintah untuk beraksi.

Scott kemudian berkesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh petani-petani miskin sendaka mencerminkan sebuah pola-pola perlawanan yang tidak diarahkan pada sumber langsung perampasan. Orang-orang kecil lebih tertarik dengan perlawanan yang menghasilkan materi yang dapat memenuhi kebutuhan kebutuhan yang demikian mendesak seperti keamanan fisik, makanan, tanah, atau pendapatan dengan melancarkan aksi aksi represif dan massiv namun lunak, tidak terlihat, tidak terus terang, dan relatif aman untuk keberlangsungan pertaruhan posisi pekerjaan mereka dimasa depan.

 Ddisini saya menangkap adanya pola kesamaan model perlawanan anonimisasi khas orang Sendaka dengan orang-orang Jawa, sebagai gaya perlawanan orang melayu?. Dengan cara-cara demikian, sekali lagi kaum tani miskin secara klasik telah menjadikan eksistensi politiknya dapat dirasakan.

Bab III Panorama Perlawanan, Sebuah legislasi semu tentang perlawanan dapat dihadirkan oleh Scott dengan memperkenalkan factor-faktor yang turut menyertai perlawanan masyarakat petani sendaka. Salah satunya mengenai latar belakang malaysia dan sektor padinya. Scott mencoba memasukkan UMNO, sebuah faksi dominan yang dihuni petani-petani kaya yang memperluas jaringan usaha sebagai mesin politik yang terorganisir dengan baik dan memiliki kekuatan menjangkau setiap kampong orang-orang melau dan berhasil memenangkan pemilihn umum secara mengesankan pada 1978. 

UMNO mengendalikan sekutu-sekutu koalisi yang bukan melayu dan Barisan Nasional (National Front).Dalam setiap partai politik di dunia, tiada faksi-faksi politik tunggal begitupula Malaysia. Upaya pergerakan UMNO sebagai partai yang berpengaruh mendapatkan tandingan dari oposisi utama di kalangan penduduk Melayu (yaitu partai islam, atau akrab disebut PAS. Kontestasi antara kedua partai tersebut memberi warna dalam pergulatan politik pedesaan di Kampung Sendaka dan Kampung Muda. Bab ini lebih banyak diisi dengan selayang pandang bentang alam, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat kedua daerah tersebut.

Bagi saya pada bab inilah scott memiliki banyak kesempatan menyajikan data-data penelitian yang berhasil dikumpulkan selama menetap di daerah tersebut dengan terperinci. Data-data tersebut cukup relevan untuk menggambarkan keadaan konflik dua daerah di semenanjung Kedah tersebut seperti kasus pelarian petani, eksodus yang membawa masalah baru pada sektor pemukiman, pencaplokan lahan, perbanditan dalam masyarakat didaerah frontiers (perbatasan) serta gesekan antara partai dalam oposisi politik. 

Beberapa data seperti tabel distribusi ukuran sawah 1966-1976, data penyewa tanah di Muda selama sepuluh decade, serta data perbandingan pendapatan keluarga bagi berbagai kelompok petani  penyewa cukup merefleksikan bentuk bentuk eksploitasi ke marjinalisasi yang menegasikan peran petani miskin wilayah tersebut.

Bab IV adalah kesempatan bagi scott membahas lebih dekat tentang daerah penelitiannya, Sendaka 1967-1979, Ia menampilkan kelompok-kelompok kelas kaya dan miskin dalam komunitas petani, komposisi kampong, persewaan tanah danproses  perubahannya, perubahan dalam produksi beras dan upah petani pekerja serta menjelaskan lembaga-lembaga setempat yang mengontrol penguasaan ekonomi kepada kalangan UMNO saja. Misalnya saja pada saat Scott mengurai pertautan masalah yang muncul akibat perkumpulan petani dan partai yang berkuasa di Sendaka. Partai-partai ini memonopoli distribusi bantuan berskala besar dalam pertanian melalui peran anggotanya. Hasilnya menunjukkan ciri khas sifat politik dan kelas di MADA.

Namun bagi Scott, ia mengemukakan jika sifat partisan pada perkumpulan petani tidak perah dipersoalkan secara serius, dan bahwa sejak semula organisasi perkumpulan petani dijalankan untuk dan oleh kelas petani dan pemilik tanah berskala besar yang berafiliasi dengan partai yang berkuasa. Konflik-konflik antara hubungan partai dengan organisasi politik yang jelas ialah sebuah hubungan oligarki kecil menikmati akses khusus atas kredit dari persatuan perladangan. Hal ini menyebabkan keluhan tidak terbatas pada anggota PAS saja, namun juga pendukung UMNO.

Apa yang saya tangkap di Bab V sejarah menurut pemenang dan pecundang adalah sebuah pesan yang ingin disampaikan Scott tentang suatu kampong yang terbenam dalam suatu tata ekonomi yang lebih luas, dengan sebagian dari lahan padi dimiliki orang luar sedangkan penduduk kampong justru mencari kerja di lahan luar komunitasnya, sehigga isu-isu kelas lokal dipahami sebagai pengaruh dari hadirnya perubahan dalam hubungan produksi yang kemudian dibenci oleh kaum miskin. Misalnya, mekanisasi, sewa dimuka, berkurangnya amal zakat, pergeseran dalam tingkat upah hingga penolakan pinjaman kepada penduduk.

Scott berpandangan bahwa ia lebih tertarik mendeskripsikan perubahan terhadap revolusi hijau yang berakibat pula pada sistem dua kali musim panen di daerah Sendaka sebagai sebuah gejala hubungan-hubungan produksi yang berubah dan ditafsirkan oleh masing-masing kelas petani kaya dan si miskin, yang dapat dipandang sebagai sebuah kutub kelas dikampung yang saling bertolak belakang terhadap gambaran fakta-fakta rumah tangga ekonominya.

 Selain itu, perubahan terhadap munculnya teknologi menegasikan peran wanita dalam pelibatan pencarian kerja sehingga mereka digantikan oleh mesin-mesin panen dan perontok padi. Praktis tenaganya tak dibutuhkan lagi untuk disewakan kepada para petani kaya. Pada bab VI, Scott menukik pada permasalahan sengketa tanah, kehilangan tanah, dan terhentinya akses lahan padi.Secara dramatis terdapat fakta bahwa semakin lama sulit menemukan lahan padi untuk disewa, hal ini secara luas disesali oleh penduduk di sendaka karena akumulasi lahan hanya berpusat pada top cetile, para tuan tanah kaya.

 Disisi lain semakin gencar tuan-tuan tanah yang menarik tanah mereka kepada para penyewa lahan karena munculnya efisiensi pengolahan lahan besar dengan mesin dan memekerjakan seorang manajer pertanian cina dan mengambil alih penggarapan sebagian besar lahan dari penduduk petani miskin untuk dikelola sendiri.

Bab VII Scott memperbincangkan tentang respon orang-orang kecil (petani miskin) dalam bersikap akibat dari puncak dari pertentangan kelas dan konstelasi politik yang memanas yakni dengan perlawanan secara hati-hati dengan penyesuaan pergerakan yang terperhitungkan. Hal inilah yang Scott kemukakan sebagai sebuah perlawanan khas petani Asia tenggara, dengan bentuk perlawanan sehari-hari petani, sebuah pertarungan antara petani kaya dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa, menghindari pajak, maupun bunga dari mereka.

Bahwa senjata-senjata biasa milik kelas yang relative tak berdaya, tertindas dalam posisi tersubrodinasi dan dipastikan selalu kalah dalam sepanjang sejarah. Mereka kemudian mencoba menciptakan sebuah revolusi petani gaya Brecht dan Schwelk, yakni seperti memperlambat pekerjaan, bersifat pura-pura, melakukan sabotase, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan tuannya namun dibelakang menjatuhan nama baik, bersekongkol dengan musuh tuan tanah, pencurian, pura-pura tidak tahu menahu hingga pembakaran gudang simpanan padi. 

Mereka tak butuh pemimpin dala situasi pergerakannya, juga tak membutuhkan organisasi dan perencanaan strategi yang sistematis bahkan mereka tak membutuhkan ideology. Cara-cara sedemikian rupa dipilih oleh petani untuk menjamin bahwa apa yang mereka lakukan tidak terlihat oleh tuannya, juga bagian dari sikap apatis terhadap segala bentuk ketimpangan yang dialami petani gurem dari masa ke masa yang terus diperlakukan tidak adil oleh penguasa meskipun mereka memiliki dukungan dalam mengantaran penguasa melalui pemilihan umum partai.

Bab VIII scott menutup diskusi buku dengan menunjukkan bentuk bentuk pertarungan ideology sehari-hari di daerah sendaka sebagai bentuk ketegangan konflik dengan menggunakan analisis konsep hegemoni ala Antonio Gramsci yang mengatakan bahwa hegemoni menyangkut keyakinan aktif dan legislasi dan superioritas kelompok yang berkuasa.

Refleksi atas pembacaan buku scott:

Buku ini memiliki keunggulan dalam keberanian penulis memunculkan teori-teori baru tentang pola perlawanan khas penduduk petani miskin melayu yang akan terus berkembang dimasa mendatang tentang studi studi pedesaan dalam literature global yang lebih beragamdalam memahami masyarakat petani Asia tenggara. Penelitian Scott berkontribusi terhadap pengembangan teori dan praktik partisipatorisnya. Kekuatan argumentasi Scott terutama dalam mengupas dan memahami konsep-konsep perubahan dan konflik pertentangan kelas yang bahkan tidak disadari benar oleh orang orang kecil tersebut.

Kedua, saya ingin mengkritisi jawaban yang menggantung dari scott tentang kedudukan sumber lisan dalam sebuah penelitian studi antropologi di lapangan. Scott mengakui bahwa pendekatan yang ada dibukunya menggunakan pendekatan fenomenologi atau etnometodologi meskipun ia tak selalu penuh mengandalkan pendekatan tersebut dikarenakan fenomenologi murni memiliki bahaya bahayanya sendiri.

Banyak sekali perilaku, termasuk berbicara, atau memberikan keterangan yang bersifat otomatis tanpa mengalami proses perenungan terlebih dahulu, hanya berdasarkan pemahaman yang subyektif dan jarang sekali sampai ketingkat kesadaran.Sebagai sebuah penafsian, peneliti harus mempertimbangkan dengan standar logikanya tentang informasi dilapangan dengan kondisi ekonomi narasumber serta konsistensinya dengan kenyataan sosial lain, karena pelaku-pelaku manusia juga dapat memberikan laporan-laporan yang saling bertentangan tentang perilaku mereka sendiri.

Seorang peneliti harus memberi penafsiran terhadap perilaku semacam itu meskipun ada akhirnya memang tidak pernah ada yang dinamakan laporan lengkap dan realitas yang dialami, dan tidak ada'transkrrip verbal yang sepenuhnya dari pengalaman yang disadari". Kepenuhan transkrip itu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan empiris dan analitis dari yang melakukan transkip tersebut.

 Akan tetapi, tanpa informasi tersebut, peneliti ama sekali tidak emmiliki pegangan. Saa kira ini adalah persoalan kedudukan sumber lisan dalam sebuah penelitian, seberapa validkah keterangan sumber lisan mengingat scott menggantungkan studinya dengan penelitian pada narasumber tersebut?

Disisi lain, apabila seorang peneliti mengalami keterbatasan bahasa, maka seberapa efektifkah kehadiran penerjemah dalam menjaga oriinalitas dari informasi penerjemah? Karena tentu saja informasi dari penerjemah telah mengalami edit informasi baik secara sadar maupun tidak sadar nyatanya telah terjadi sensor atas infromasi tersebut dengan kepentingan kepentingan tertentu misalnya agar mudah dipahami untuk dinarasikan kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun