Mohon tunggu...
Siti Ulfa Afkari
Siti Ulfa Afkari Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa program studi Manajemen Bisnis Syariah, Institut Agama Islam An-Nadwah Kuala Tungkal

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Shockvertising dan Budaya "Call-Out" Netizen Indonesia

15 April 2025   21:25 Diperbarui: 15 April 2025   21:40 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Budaya "Call-Out" terhadap Shockvertising.

Saat menelusuri timeline media sosial, sering kali penulis menemukan konten-konten yang dirancang secara sengaja untuk memancing kemarahan. Postingan dengan klaim kontroversial atau kesalahan faktual yang kentara seolah dibuat untuk memancing netizen berperan sebagai "polisi kebenaran". Strategi inilah yang sering disebut sebagai shockvertising di era digital.

Shockvertising digital memiliki karakteristik berbeda dari shock marketing konvensional. Jika dulu shock advertising lebih mengandalkan konten vulgar atau tabu untuk menarik perhatian, versi digitalnya lebih memanfaatkan psikologi netizen yang cenderung reaktif.

Salah satu contoh yang sering saya temui adalah adanya sebuah akun yang memberikan pertanyaan matematika mengecoh kepada narasumber yang ditemui mereka di jalan. Misal, contoh pertanyaannya adalah 1+1x0. Ketika narasumber menjawab 1, host justru menyatakan bahwa jawaban tersebut salah. Hasil dari konten tersebut membuat ribuan netizen berkomentar yang mengoreksi, mencela, namun sekaligus meningkatkan interaksi dan memperluas jangkauan akun tersebut.

Beberapa brand lokal mulai menerapkan strategi ini. Mereka sengaja membuat klaim yang meragukan atau postingan dengan kesalahan ketik mencolok yang kemudian sengaja memancing amarah dan komentar negatif dari warganet. Tanpa sadar, netizen telah menjadi mesin engagement gratis untuk mereka.

Budaya "cari kesalahan" netizen Indonesia tampaknya menjadi lahan subur bagi strategi shockvertising. Ada kebanggaan tersendiri ketika bisa menunjukkan kesalahan orang lain, apalagi di ruang publik. Inilah yang dimanfaatkan oleh pemasar digital yang jeli.

Penulis mengamati bagaimana algoritma platform media sosial semakin memperkuat fenomena ini. Konten yang memicu perdebatan atau komentar negatif justru mendapat boost lebih besar dibanding konten positif yang cenderung hanya menghasilkan like tanpa interaksi mendalam.

Yang menarik, fenomena ini menciptakan simbiosis yang aneh di mana netizen merasa puas bisa menunjukkan kepintarannya dengan mengoreksi kesalahan, sementara pemilik akun mendapat traffic dan engagement yang diinginkan. Keduanya mendapatkan apa yang diinginkan, meski dengan cara yang cenderung negatif.

Lantas, muncul sebuah pertanyaan, apakah strategi ini berkelanjutan? Jawabannya adalah tidak, shockvertising memang efektif untuk pertumbuhan cepat, namun berisiko terhadap reputasi jangka panjang. Sebagai masyarakat, kita perlu lebih kritis terhadap konten-konten yang tampak sengaja provokatif. Kesadaran akan strategi marketing ini bisa membantu kita tidak terjebak menjadi "engagement machine" bagi pihak yang hanya mengejar angka followers dan interaksi.

Shockvertising mencerminkan hubungan kompleks antara konsumen konten dan produsennya. Sepanjang netizen masih reaktif dan algoritma masih memberi reward pada kontroversi, strategi ini akan terus bertahan pada lanskap digital Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun