Di sebuah sudut kampung Blawong 2, Trimulyo, Jetis, Bantul, aroma kesabaran dan ketekunan melekat pada setiap helai kain jarik yang tergantung rapi di ruang produksi. Di tempat inilah, Ibu Markhanah, sosok sederhana tapi penuh tekad, memulai usaha rumahan bernama Khana Manten sejak tahun 1999. Sebuah langkah berani saat jarik belum kembali naik daun seperti sekarang.
Kala itu, belum banyak yang melirik jarik sebagai ladang rezeki. Tapi naluri Ibu Markhanah berkata lain. Ia melihat peluang bahwa pernikahan tradisional masih banyak, jarik masih jadi bagian sakral dari prosesi, dan tangan-tangan terampil di sekitarnya butuh ruang untuk berkarya. Maka dimulailah perjalanan panjang merintis usaha jarik, dari rumah yang tak luas, dengan alat seadanya, dan tenaga kerja yang semuanya tetangga sendiri.
"Waktu itu belum banyak saingan," kisahnya, sambil membenahi lipatan jarik prada berkilau. "Saya pikir, ini kain bukan cuma kain, tapi budaya. Dan budaya harus dirawat."
Di tangan Ibu Markhanah, jarik bukan sekadar kain panjang bermotif batik. Ia adalah narasi kehidupan. Ia adalah pusaka budaya yang diwariskan dan dirawat, dijahit dan dibentuk bukan hanya dengan benang dan kain, tapi juga dengan cinta, kesabaran, dan keyakinan bahwa tradisi tak boleh pudar ditelan zaman.
Dari Kampung ke Kota : Jarik yang Melanglang Buana
Tahun 1999 bukan masa mudah bagi perempuan desa memulai usaha sendiri. Tapi ketika melihat belum banyak pelaku usaha yang bergerak di bidang produksi jarik manten, Ibu Markhanah melihat celah.
Berkat ketelatenan dan konsistensi menjaga kualitas, usaha Khana Manten pun perlahan berkembang. Jarik-jarik karyanya mulai dilirik pasar. Awalnya dipasarkan di Pasar Beringharjo, lalu mulai dikirim ke Solo, Jakarta, hingga ke berbagai kota lain di luar Yogyakarta. Produknya tak lagi hanya dijual eceran, tapi juga dipasok ke para perias manten dan pemilik usaha busana adat.
Kini, Khana Manten mempekerjakan sekitar 15 orang, mayoritas ibu-ibu dari sekitar kampung. Mereka mengerjakan berbagai jenis jarik: mulai dari prada manten, boket, bordir, payet, hingga wiru besan. Motifnya pun tak sembarangan. Ada Sido Mulyo yang melambangkan harapan hidup makmur, Wahyu yang berarti berkah, Luhur, Stik Bunga, hingga Ciki yang lebih modern tapi tetap berakar pada estetika batik Nusantara. Setiap jarik yang dihasilkan bukan sekadar produk tekstil. Ia membawa cerita, makna, bahkan harapan. Bagi banyak pengantin, jarik bukan cuma pelengkap pakaian adat, tapi simbol penghormatan terhadap leluhur, pengikat nilai tradisi, sekaligus pelindung spiritual.Â
Menjaga Budaya Lewat Sebaris Benang