Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah kembali memanas. Konflik ini dimulai sejak Israel mengirimkan serangan nuklir ke Iran yang merenggut nyawa sejumlah pemimpin militer di wilayah tersebut. Serangan rudal lintas batas, sabotase infrastruktur, dan respons Amerika Serikat membuat konflik ini membawa dunia ke jurang ketidakpastian ekonomi. Konflik di Timur Tengah ini bukan hanya konflik regional saja, tapi tentang konflik kawasan yang bisa berpengaruh ke tatanan ekonomi dan keuangan secara global.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, konflik ini akan berpengaruh ke perekonomian nasional. Hal ini disebabkan karena Indonesia masih sangat bergantung pada impor energi dan aliran modal asing dari negara lain. Salah satu indikator utama untuk melihat pengaruh ini yaitu dari Neraca Pembayaran Indonesia yang mencatat keuangan internasional. Di tengah memanasnya konflik di Timur Tengah, Neraca Pembayaran Indonesia bisa tertekan dari berbagai sisi, terutama jalur harga minyak dan volatilitas aliran modal.
Menurut data Bank Indonesia, transaksi berjalan Indonesia pada kuartal I-2025 mencatat defisit sebesar 176.94 Juta USD. Sementara itu, transaksi finansial mencatat defisit sebesar 331 Juta USD, didukung masuknya dana portofolio asing. Struktur ini menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Secara struktural, Neraca Pembayaran Indonesia terdiri dari dua bagian yaitu transaksi berjalan dan transaksi finansial. Selama beberapa tahun terakhir, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit. Artinya, Indonesia lebih banyak melakukan impor daripada ekspor. Biasanya defisit ini terjadi pada komponen perdagangan jasa. Ketidakseimbangan ini kemudian ditutupi oleh surplus dari transaksi finansial, terutama dalam bentuk investasi portofolio asing yang masuk dalam pasar obligasi dan saham domestik.
Konflik yang memanas di Timur Tengah ini akan menekan Neraca Pembayaran Indonesia dari dua sisi yaitu transaksi berjalan dan juga transaksi finansial. Pada transaksi berjalan, pengaruh terbesar disebabkan oleh kenaikan harga minyak global. Menteri Keuangan menjelaskan bahwa konflik antara Israel dan Iran ini membuat harga minyak dunia melonjak drastis lebih dari 8 persen. Untuk Brent yang tadinya kisaran USD 70 melonjak naik mencapai USD 78 per barel. Sebagai negara net-importir migas, lonjakan drastis ini akan secara langsung membebani neraca perdagangan migas Indonesia dan memperlebar defisit pada transaksi berjalan.
Dari sisi transaksi finansial, para investor asing akan menaruh aset mereka ke dalam aset aman (safe haven) seperti dolar AS dan juga emas. Hal ini akan meningkatkan potensi terjadinya capital outflow, terutama dari pasar modal dan surat utang Indonesia. Situasi ini semakin diperburuk karena ketergantungan Indonesia terhadap pembiayaan eksternal, sehingga transaksi finansial Indonesia sangat rentan terhadap kondisi global. Guncangan ini bisa dilihat dari Indeks Harga Saham Gabungan yang turun hampir 4 persen dalam 3 minggu terakhir. Penurunan ini menjadi salah satu indikasi bahwa investor asing mulai menarik dana dari pasar keuangan Indonesia. Ketidakpastian ekonomi ini juga membuat investor asing menunda investasi untuk menanamkan modal di negara berkembang sehingga memperbesar potensi neraca pembayaran semakin defisit.
Selain berpengaruh terhadap Neraca Pembayaran Indonesia, konflik yang terjadi antara Israel dan Iran juga akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Indonesia menganut sistem kurs mengambang, di mana nilai tukar rupiah ditentukan oleh mekanisme pasar. Saat harga minyak global mengalami kenaikan, maka Indonesia harus mengalokasikan dana tambahan untuk menutupi kenaikan harga minyak akibat konflik yang memanas. Kenaikan permintaan valuta asing ini tentu akan menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Selain itu, ketegangan geopolitik yang akan mendorong pelarian modal untuk dialihkan kepada aset yang dirasa aman seperti dolar AS dan emas juga akan memperparah depresiasi dari nilai tukar rupiah sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan bauran kebijakan moneter dan fiskal yang terkoordinasi satu sama lain. Dasi sisi moneter, Bank Indonesia akan menjaga stabilitas nilai tukar dengan mengambil intervensi di pasar keuangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Direktur Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Tri Wahyono menegaskan bahwa Bank Indonesia mengambil intervensi NDF di pasar offshore baik di pasar Asia, Eropa, maupun Afrika, serta melakukan triple intervention di pasar domestik.
Dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap skema subsidi energi agar lebih efisien dan tepat sasaran. Selain itu, pemerintah bisa mendorong belanja sosial untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin. Namun perlu diperhatikan terkait subsidi energi karena pengeluaran pemerintah untuk subsidi energi bisa membebani APBN secara berlebihan.
Dalam jangka pendek, stabilitas Neraca Pembayaran Indonesia sangat bergantung pada kebijakan moneter dan arus modal dalam jangka pendek. Namun, solusi ini tidak memperbaiki Neraca Pembayaran Indonesia dalam jangka panjang. Ketergantungan terhadap aliran modal asing terutama dalam bentuk portofolio akan membuat perekonomian Indonesia mudah goyah saat terjadi krisis global.