Mohon tunggu...
Siti LailatulMaghfiroh
Siti LailatulMaghfiroh Mohon Tunggu... Guru - Early Chilhood Enthusiast

Sedang belajar mencintai menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Sebaik yang Kupikirkan

21 Oktober 2020   17:03 Diperbarui: 22 Oktober 2020   12:00 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Positivity is in accepting reality, rather than living in false hopes"-Dhiya-

"Tenang, stay positive la" 

Ucapku dalam hati dengan terpaksa. Lagi dan lagi, diri ini merasa terpuruk ketika melihat story WhatsApp temanku yang isinya selalu menunjukkan prestasinya. Jujur saja, aku sangat menyukai jika melihat story WhatsApp maupun Instagram teman-temanku, yang mana mereka anak-anak berprestasi. 

Isi postingan mereka selalu berisi hal-hal yang bermanfaat. Bisa tentang aktivitas organisasinya, pengalamannya bahkan karya-karyanya. Berusaha selalu on time ketika melihat story sosmed yang mereka tunjukkan seperti menjadi hal yang wajib di dalam aktivitas harianku. Niat awal ku melihat story sosmed mereka agar diri ini termotivasi untuk menjadi pecut diri ini untuk menjadi sosok yang terbaik seperti mereka.

Namun, lambat laun diri ini mulai merasa sesak dan tersiksa dengan pencapaian yang mereka miliki. Menyalahkan diri kenapa tak bisa sehebat mereka. Dan jalan keluarnya memaksa diri kudu bisa seperti mereka. 

"Lala bisa kudu bisa wajib bisa pasti bisa"

Mantra yang sering kuucapkan ketika diri ini benar-benar merasa jatuh dengan usahaku untuk menjadi sosok yang kupandang seperti langit. Perumpamaanku ketika melihat teman-teman perempuanku yang masya allah gak karu-karuan dalam berprestasi. Dan aku ibaratkan diri ini bumi, yang selalu menatap langit, berusaha menghampirinya tapi gak bisa-bisa. Serasa menjadi sosok yang gak berguna, meskipun aku tau aku cerdas dengan caraku sendiri. Seperti artikel yang pernah kutuliskan sebelumnya tentang semua anak pasti cerdas, tapi bidangnya saja berbeda. 

Terpikir dalam benak, mungkinkah aku yang terlalu iri hati terhadap apa yang mereka peroleh? Atau apa la? Nyatanya story sosmed yang aku gunakan untuk memotivasi diri menjadi toxic yang benar-benar menghancurkanku. Bisa jadi toxic story sosmed yang aku alami hampir sama dengan toxic positivity. Yang mana kondisi seseorang  berusaha menjaga atau memaksa pikirannya untuk berpikir positif dalam semua keadaan, karena dia merasa hal itu merupakan cara yang tepat untuk bertahan hidup, sekilas itu yang diungkapakan oleh Psychology Today tentang pengertian toxic positivity. Aku hubungkan dengan toxic positivity karena memang story sosmed yang aku tonton milik teman-temanku yang berprestasi, dan isinya sudah pasti dapat memotivasi. 

Namun yang terjadi tak sebaik yang kupikirkan. Hal yang aku harapkan dapat membuat diri ini selalu bahagia dan termotivasi, langsung berubah menjadi kondisi dimana aku selalu menolak perasaan yang tidak menyenangkan. Padahal jika aku terus-terusan menghindari perasaan tidak menyengkan itu, malah membuat emosi itu menjadi besar dan menumpuk. Dan ketika aku mencoba mengevaluasi diri, selalu pada akhirnya menangisi diri sendiri. Sungguh tak nyaman dengan kondisi seperti ini. 

Merujuk pendapat dari Study Psylogical Science (2009) mengungkapkan bahwa toxic positivity dapat memperburuk kondisi seseorang yang telah menilai dirinya rendah. Karena memang manusia tidak bisa mengatur dirinya untuk selalu berpikir positif dan membuang emosi negatif. Hal tersebut malah akan menyiksa dirinya sendiri. Dan bukan menjadi sesuatu yang baik untuk diri, malah menjadi racun yang membunuh diri sendir secara perlahan. Jika dalam sisi ilmu umum, aku merasa diriku mengalami hal tersebut.

Berbeda dengan sisi keislaman. Bisa jadi aku mengalami ghibtoh. Sore tadi sempat aku konsultasikan permasalahanku pada salah satu Ustadzah di Pondok Pesantren daerah Kota Batu. Beliau menjelaskan bahwa apa yang aku alami bisa disebut ghibtoh. Al Fudhail bin 'Iyadh berkata,

"Ghibtoh adalah bagian dari iman. Sedangkan hasad adalah bagian dari kemunafikan. Seorang mukmin punya sifat ghibtoh (ingin melebihi orang lain dengan kebaikan), sedangkan ia tidaklah hasad (iri atau dengki). Adapun orang munafik punya sifat hasad dan tidak punya sifat ghibtoh. Seorang mukmin menasehati orang lain secara diam-diam. Sedangkan orang fajir (pelaku dosa) biasanya ingin menjatuhkan dan menjelek-jelekkan orang lain". 

Sederhananya, ghibtoh merupakan kondisi dimana seseorang menginginkan kesuskesan  yang sama seperti apa yang dialami orang lain, tanpa mengharapkan untuk menghilangkan kesuksesan yang telah mereka capai. Dalam islam memiliki sifat ghibtoh disunnahkan. Karena orang tersebut menggunakan kesuksesan orang lain untuk memotivasi dirinya. 

Lalu solusi apa yang dapat aku lakukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun