Beberapa waktu lalu aku sempat ngobrol dengan seorang yang baru saja lulus dan sudah bekerja di perusahaan swasta di Jakarta. Katanya, setiap hari rasanya lelah, bukan karena pekerjaannya berat, tapi karena ia merasa tidak lagi punya semangat. Ketika kutanya kenapa tidak coba cari pekerjaan lain, jawabannya sederhana, "Takut. Di luar sana saingannya banyak. Mending di sini aja, yang penting aman." Dari situ aku baru tahu, ternyata banyak orang yang merasa seperti itu. Fenomena ini sekarang disebut job hugging, yaitu kondisi ketika seseorang terlalu nyaman di pekerjaannya, bukan karena cinta, tapi karena takut kehilangan rasa aman.
Kalau dipikir-pikir, istilah job hugging terdengar lucu juga. Seolah-olah seseorang sedang memeluk erat pekerjaannya, seperti benda berharga yang tidak boleh dilepas. Padahal dalam banyak kasus, yang dipeluk bukan kebahagiaan, tapi rasa takut. Takut gagal, takut miskin, takut memulai dari nol. Fenomena ini mulai sering dibicarakan di media sosial karena ternyata banyak pekerja muda yang diam-diam mengalaminya. Mereka terlihat sukses, punya gaji tetap, tapi di dalam hati merasa hampa.
Sebagai mahasiswa yang sebentar lagi akan masuk dunia kerja, aku merasa topik ini penting banget untuk dibahas. Kita sering diajarkan untuk mencari pekerjaan yang aman, tapi jarang diajarkan bagaimana menemukan pekerjaan yang benar-benar membuat kita hidup. Banyak dari kita tumbuh dalam lingkungan yang menilai kesuksesan dari seberapa cepat kita mendapat kerja setelah lulus. Akibatnya, begitu diterima di satu tempat, kita merasa itu sudah cukup. Padahal, dunia kerja itu dinamis, dan tidak semua pekerjaan cocok untuk semua orang.
Fenomena job hugging muncul dari kombinasi rasa takut dan tekanan sosial. Setelah pandemi, kita semua tahu betapa sulitnya mencari kerja. Banyak perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja, ekonomi tidak stabil, dan biaya hidup naik. Dalam situasi seperti itu, siapa yang tidak ingin merasa aman? Maka wajar kalau banyak orang memilih bertahan di tempat kerja yang sebenarnya tidak membuat mereka bahagia. Apalagi ketika di luar sana orang-orang sibuk pamer karier di LinkedIn atau media sosial lain, yang membuat kita tambah takut mengambil risiko.
Selain faktor ekonomi, budaya kita juga punya peran besar. Di Indonesia, pekerjaan tetap sering dianggap sebagai simbol kesuksesan. Orang tua akan bangga kalau anaknya sudah punya pekerjaan mapan, apalagi kalau statusnya pegawai tetap. Tidak peduli apakah anaknya bahagia atau tidak, yang penting kelihatan aman. Budaya ini secara tidak langsung membuat banyak orang takut terlihat "tidak stabil." Mereka takut dinilai tidak setia atau gagal kalau berpindah kerja. Padahal, di zaman sekarang, berpindah pekerjaan bukan tanda ketidaksetiaan, melainkan tanda bahwa seseorang ingin berkembang.
Ada yang bilang, bertahan di pekerjaan yang tidak disukai itu seperti berada di hubungan yang sudah dingin. Kamu tahu sudah tidak cocok, tapi tetap bertahan karena takut kesepian. Analogi itu menurutku pas banget. Banyak orang yang sebenarnya sudah tahu pekerjaan mereka tidak lagi memberi ruang untuk tumbuh, tapi mereka menenangkan diri dengan kalimat "yang penting masih kerja." Padahal, hidup bukan hanya soal bertahan, tapi juga tentang berkembang.
Namun di sisi lain, job hugging juga tidak selalu negatif. Dalam kondisi tertentu, bertahan memang bisa jadi pilihan yang bijak. Misalnya, ketika kondisi ekonomi belum stabil, atau ketika seseorang masih butuh waktu untuk menyiapkan langkah berikutnya. Tidak semua orang bisa langsung keluar begitu saja dari pekerjaannya. Ada tanggungan, ada cicilan, ada keluarga yang harus dijaga. Jadi, masalahnya bukan pada bertahannya, tapi pada ketika kita sudah kehilangan semangat namun tetap diam tanpa rencana untuk berubah.
Yang berbahaya dari job hugging adalah ketika seseorang terjebak terlalu lama. Lama-lama rasa nyaman itu berubah menjadi jebakan. Mereka mungkin terlihat tenang dari luar, tapi sebenarnya sudah kehilangan arah. Setiap hari bekerja tanpa semangat, hanya menunggu gaji bulanan datang. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menurunkan produktivitas bahkan memengaruhi kesehatan mental. Banyak yang akhirnya merasa lelah secara emosional, tapi tidak tahu bagaimana keluar dari lingkaran itu.
Sebagai mahasiswa, aku sering berpikir, bagaimana caranya supaya nanti tidak terjebak seperti itu. Mungkin jawabannya adalah keberanian untuk terus belajar dan tidak cepat puas. Dunia kerja berubah cepat, dan kalau kita tidak siap beradaptasi, kita akan tertinggal. Aku juga belajar bahwa mencari pekerjaan bukan sekadar soal gaji, tapi soal makna. Kita butuh pekerjaan yang memberi ruang untuk berkembang dan selaras dengan nilai-nilai hidup kita.
Menariknya, kalau melihat di media sosial, banyak juga yang mulai menyadari hal ini. Anak muda sekarang tidak lagi terlalu terpaku pada pekerjaan kantoran. Mereka mulai mencari makna lewat usaha kecil, pekerjaan lepas, atau bahkan konten kreatif. Mereka tidak lagi malu mencoba hal baru. Mungkin inilah bentuk perlawanan terhadap budaya job hugging yang terlalu menekankan keamanan. Mereka sadar bahwa hidup bukan hanya tentang merasa aman, tapi juga tentang tumbuh dan berani mengambil risiko.