Artikel "Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah" karya Study Rizal L. Kontu menyorot tragedi politik di Nepal sebagai cermin rapuhnya demokrasi yang tidak memiliki ruang komunikasi terbuka. Pemerintah melarang akses ke media sosial, dan itu langsung memicu demonstrasi besar-besaran. Tapi akar kemarahan rakyat Nepal sebenarnya sudah lama tumbuh dari korupsi, nepotisme, dan ketidakadilan yang terus berulang. Media sosial selama ini jadi ruang penting bagi warga untuk menyuarakan keresahan, jadi ketika aksesnya ditutup, rasanya seperti diputus komunikasi langsung antara rakyat dan negara.
Demonstrasi akhirnya jadi satu-satunya cara rakyat bicara, tapi sayangnya dibalas dengan kekerasan. Aparat turun tangan pakai peluru karet, gas air mata, bahkan peluru tajam, dan itu bikin banyak korban jiwa. Penulis nunjukin bahwa tindakan seperti itu tidak hanya menyakiti fisik, tetapi juga menjadi demokrasi kehilangan makna. Dialog yang seharusnya jadi inti demokrasi malah diganti denngan represi.
Walaupun larangan media sosial akhirnya dicabut, luka dan trauma sudah terlanjur dalam. Artikel ini mengajak kita untuk berfikir  ulang mengenai demokrasi bukan hanya tentang pemilu, tapi tentang keberanian negara untuk mendengar suara rakyat. Tragedi Nepal jadi pengingat penting buat negara lain, termasuk Indonesia, supaya nggak alergi sama kritik dan tetap buka ruang komunikasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI