Mohon tunggu...
Siti Aminatun Khasanah
Siti Aminatun Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 21107030004

Menulis dengan cinta adalah jalan keluar dari perasaan hampa dan tidak berguna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Awas! Kenali Toxic Productivity Sebelum Kamu Mengalaminya

10 April 2022   00:40 Diperbarui: 10 April 2022   00:44 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Produktif. Tentu merupakan kata yang tidak asing lagi di telinga. Bagaimana tidak, menjadi produktif selalu menjadi dambaan setiap manusia. Semua orang menginginkan dirinya menjadi sempurna, tidak malas terlebih menghabiskan waktu hanya dengan rebahan. Namun tidak semua produktif adalah positif. Menjadi orang yang terlalu memaksakan diri untuk selalu produktif juga tidak benar. Karena jika kamu melakukannya sama halnya kamu tidak menyayangi dirimu sendiri. Boleh menjadi orang yang sayang akan waktu luang, tapi ketahuilah tidak semua produktif itu baik namun bisa jadi kamu terjangkit toxic productivity.

Jadi apa itu toxic productivity?

Mari kita artikan secara harfiah, dimana toxic berarti racun. Akan tetapi, dewasa ini toxic dapat dikatakan suatu tindakan buruk terhadap diri sendiri dan juga orang lain dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian productivity berarti aktivitas yang produktif. Aktivitas produktif tersebut dilakukan karena adanya kejelasan goals dan target yang akan tercapai. Namun aktivitas ini akan menjadi tidak baik dan menimbulkan sesuatu yang berbahaya jika dilakukan secara berlebihan. Alhasil kesehatan fisik dan mental akan terganggu. Dan secara otomotis juga, hal itu dapat mengganggu orang-orang di sekitar kamu.

Selanjutnya bagaimana para ahli mengartikan toxic productivity?

Menurut Dr. Julie Smith, seorang psikolog klinis dari Hampshire, Inggris, toxic productivity adalah sebuah obsesi untuk mengembangkan diri dan merasa bersalah jika tidak bisa melakukan banyak hal. Selain itu Erika Ferszt yang juga seorang psikolog, tepatnya psikolog organisasi di London mengatakan bahwa toxic productivity adalah tindakan yang memiliki tujuan untuk mendapatkan rasa puas atas pencapaian pribadi yang dilakukan bahkan saat sebenarnya kita tidak mampu. Kemudian dalam kesempatan yang lain, dr. Erikavitri Yulianti pada webinar How to be Productive during a Pandemic menyatakan bahwa toxic productivity adalah obsesi untuk terus produktif dengan melakukan aktivitas atau kegiatan secara terus menerus. Lalu disebutkan pula bahwa toxic productivity membuat seseorang terus bersikap kritis, selalu berpikir bahwa diri sendiri belum melakukan dan menghasilkan sesuatu, serta lupa atas pencapaian yang telah diraih.

Bagaimana? Sudah tahu kan?

Oke kita akan cari tahu lagi nih, jadi apa aja si yang jadi pertanda bahwa kamu mengalami toxic productivity?

Yang pertama adalah ketika kamu selalu terobsesi untuk produktif, padahal tubuhmu juga perlu rehat sejenak dari segala bentuk aktivitas. Selanjutnya saat kamu merasa bersalah  ketika berdiam diri, itu juga menjadi tanda dari toxic productivity karena tidak ada yang salah dari diam, sekali waktu kamu memang perlu me time. Berikutnya ialah ketika kamu memiliki target yang tidak realistis dan tidak pernah puas. Ya, kamu punya ekspektasi yang amat tinggi padahal faktanya itu jelas tidak mungkin, dan darisana akan muncul rasa tidak puas terhadap apa yang sudah kamu capai. Kemudian yang terakhir adalah ketika kamu tidak mengenal istirahat. Bahkan disaat kamu sudah jatuh sakit kamu tetap memilih untuk mengerjakan pekerjaanmu dan memaksakan dirimu untuk tetap beraktivitas.

Jadi bagaimana? Apa kamu merasakan hal seperti yang dijelaskan diatas? Jika ia, lantas apa yang memicu adanya toxic productivity?

Pemicu terbesar toxic productivity adalah perkembangan informasi dan teknologi yang sangat cepat di era 4.0 bahkan saat ini kita sudah memasuki 5.0. Saat sisi-sisi individualistik muncul yang kemudian membuat kita sangat fokus dan ambis terhadap kesuksesan diri sendiri serta diikuti dengan informasi yang juga membuat kita dengan gampangnya membandingkan diri dengan orang lain, membandingkan bagaimana pencapaian kita dan apa yang sudah dicapai oleh orang lain. Ditambah lagi adanya jiwa kompetitif yang tidak terkontrol, standar kelayakan yang terlalu tinggi, maka kemudian jadilah toxic productivity.

Toxic productivity bukan hal sepele, karena ia menimbulkan dampak yang luar biasa, toxic productivity membawa dampak buruk bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Oleh karenanya toxic productivity harus segera dihentikan. Mengapa?

  • Tubuh kita memiliki hak untuk istirahat, pun untuk mendapat input yang baik. Baik berupa asupan gizi dan nutrisi maupun asupan mindset yang membangun dan positif. Saat kita telah melebihi batas dan kemampuan yang kita miliki, maka yang terjadi adalah stress, alih-alih mengerjakan pekerjaan yang kita punya dengan baik dan maksimal, nyatanya yang terjadi justru malah sebaliknya.
  • Kita kehilangan kontrol atas diri sendiri. Kita sudah tidak bisa mengendalikan diri dengan baik atas apa yang seharusnya kita lakukan dan tidak kita lakukan. Dan kita menjadi orang yang tidak puas dengan apa yang sudah kita dapatkan. Hal ini dibenarkan oleh dr. Anika Petrella, seorang psikoterapis di University College London Hospital, ia menyatakan toxic productivity membuat kita tidak pernah merasa cukup. Kita tidak pernah menghargai usaha yang sudah dilakukan dan hanya beranggapan bahwa yang kita capai masih jauh dari sempurna. Faktanya tidak ada kesempurnaan dalam setiap pekerjaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun