Mohon tunggu...
Siti Ainurofiah
Siti Ainurofiah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Siti Ainurofi'ah/ S20192076 Mahasiswa UIN KHAS Jember

Hukum Ekonomi syari'ah UIN KHAS Jember

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hermeneutika Hukum UU Perlindungan Konsumen terhadap Pelaku Usaha Jastip

15 Oktober 2021   19:05 Diperbarui: 15 Oktober 2021   22:37 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh sebab itu, dibutuhkan perlindungan konsumen yang tertuang dalam UUPerlindungan Konsumen, berisi kewajiban dan hak yang harus dilakukan atau diterima baik pelaku usaha maupun konsumen. 

Banyak sekali konsumen yang mengalami kerugian atas kegiatan muamalah jasa titip ini. Memerlukan hermeneutika hukum dalam menganalisis suatu permasalahan hukum dengan menggunakan penafsiran diantara peraturan yang mengatur jasa titip yakni UU Perlndungan konsumen dan juga DSN MUI No:113/DSN-MUI/IX/2017. 

Permasalahan yang sering terjadi dalam jasa titip online adalah barang yang tidak sesuai dengan picture atau tidak sesuai dengan yang sudah dipromosikan. Disini sebagai konsumen merasa dirugikan atas apa yang telah dilakukan pelaku usaha.

Dalam jasa titip ini terdapat unsur wakalah dan ujrah. Wakalah adalah bentuk perwakilan, sedangkan ujrah adalah upah atau fee. Syarat-syarat yang utama dalam sebuah kegiatan muamalah adalah kedua belah pihak dalam kondisi sehat, berakal  atau dewasa. Sehingga jika kita melakukan kegiatan muamalah secara tidak langsung kita membuat suatu perjanjian yang disepakai oleh kedua belah pihak. 

Tetapi yang menjadi permasalahan disini adalah barang titipan tidak sesuai dengan apa yang sudah dideskripsikan oleh pelaku usaha jastip. Hermeneutika hukum mencoba untuk menafsirkan apa yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha jastip dan penitip, melalui DSN MUI No:113/DSN-MUI/IX/2017 dan UU perlindungan konsumen No 8 tahun 1999. Dalam DSN MUI tentang wakalah bil ujrah (jastip) Ketentuan wakil (pelaku usaha jastip) dan muwakkil (penitip) yakni :

  • Boleh berupa orang, yang disamakan dengan orang (badan hukum) yang berdasarkan undang-undang yang berlaku : Badan hukum terutama perusahaan yang berbentuk PT boleh melakukan bentuk usaha jastip
  • Muwakkil dan wakil wajib cakap hukum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan: Dalam hal ini harus memenuhi pasal 132 KUHPerdata yakni kedua belah pihak saling sepakat dan  cakap hukum.
  • Muwakkil wajib mempunyai kemampuan untuk membayar ujrah
  • Wakil wajib memiliki kemampuan untuk mewujudkan perbuatan hukum yang dikuasai kepadanya: Disini bisa dijabarakan secara gamblang, bahwa jika kedua belah pihak sudah saling sepakat maka hak dan kwajiban telah melekat pada keduanya. Terutama pada wakil harus mewujudkan barang yang diinginkan oleh muwakkil atau barangnya harus sesuai dengan deskripsi yang disampaikan kepada muwakkil. Jika hal tersebut dilanggar oleh wakil, maka terjadi sebuah sengketa didalamnya, yang mana wakil (pelaku usaha) telah melanggar suatu perjanjian atau shigat yang telah disepakati bersama. Sedangkan dalam Undang-undang perlindungan konsumen Nomor 8 tahun 1999 diatur secara jelas mengenai hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dan konsumen. Dalam bab IV perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha adalah :
  • Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentutan peraturan perundang-undangan.
  • Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan: barang yang dijual belikan harus sesuai dengan deskripsi produk.
  • Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya : Produk yang dibeli oleh pelaku usaha harus benar-benar sesuai dengan deskripsi produk.

Dari penafsiran 2 peraturan perundang-undnagan yang berlaku bagi pelaku usaha dan  konsumen untuk menyelesaikan permasalahan hukum secara haqiqi tidak cuma-cuma, sekiranya penulis dapat menyimpulkan. Jika terjadi hal tersebut diatas, maka sebagai pelaku usaha jastip dapat meminimalisir kerugian bagi dirinya dan menambah kepuasan konsumen dengan cara: Ketika barang yang telah dipromosikan dan sudah disetujui oleh kedua belah pihak, ternyata barang tersebut habis. Pelaku usaha dapat menelphone atau video call ke penitip untuk diubah pemesanan atau diakhiri saja pemesanan tersebut. Berbeda dari kebanyakan pelaku usaha jastip ketika barang yang dipesan oleh penitip itu habis, atau barang itu masih ada tetpai pelaku usaha malah membelikan barang yang sama dan lebih murah tetapi kualitas beda dari yang dideskripsikan (barang aslinya), tidak lain untuk memperbanyak keuntungan. Jadi diperlukan inisiatif untuk meminimalisir hal tersebut, Tujuannya melakukan antisipasi seperti di atas adalah:

  • Untuk menghindari i'tikad buruk yang dilakukan oleh pelaku usaha sendiri karena biasanya dilatar belakangi untuk meraup keuntungan lebih dari fee yang didapatkan.
  • Untuk menghindari MAGHRIBI (maysir, ghoror, riba dan i'tikar) dalam kegiatan muamalah, karena dalam muamalah terdapat kaidah  (sesunggunhnya kegiatan jual beli itu saling ridho antara kedua belah pihak)
  • Salah satu bentuk kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
  • Untuk menimbulkan kepercayaan terhadap konsumen.

Kiranya penulis dalam menganalisis permasalahan hukum diatas dengan menggunakan metode hermeneutika hukum teoritis, yakni metode untuk menafsirkan teks sehingga mampu menyadarkan penafsir dalam menafsiri dari kesalahpahaman, sehingga mampu menemukan makna objektif.

Penulis : Siti Ainurofi'ah/S20192076/HTN 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun