Ibu membawakan saya payung, karena langit mulai gelap akan turun hujan. Bergegas saya mengayunkan langkah, berharap tidak turun hujan hingga nanti kami berdua tiba di rumah.
Harapan tinggal harapan. Saat kami berdua berjalan pulang ke rumah dari rumah jahit, entah bagaimana cerita, tetiba hujan runtuh seketika. Kami terkejut dan gagap membuka payung. Kakak memeluk tubuh saya yang mungil sembari menggegan erat gagang payung. Namun angin berhembus sangat kencang, hingga tangan mungil saya pun turut memegang erat mempertahankan stabilnya payung agar tidak terhuyung.
Angin sangat kencang menerpa kami hingga payung terkembang terbalik, dan salah satu tangkainya patah. Kami berjalan tersendat melawan angin. Terpaksa kakak melepas payung, terbang terbawa badai. Kami seolah berjalan menghadapi arus yang kuat.
Di pinggir jalan, ada beberapa tenda petani bawang merah yang berisi penghuni sekira dua-tiga orang. Salah satu bapak keluar dari tenda, menarik kami dari jalan agar berteduh di dalam tenda mereka. Tenda terpal plastik transparan dengan lengkung sederhana membentuk perlindungan setengah lingkaran, menahan penghuni dari guyuran hujan dan badai angin.
Kakak memeluk tas les menjahit. Tampak sedih dan khawatir dengan basahnya buku di dalamnya. Kami berdua meringkuk saling menghangatkan. Bersama tiga petani lainnya (satu bapak dan dua ibu), kami memanjat doa, mengusir rasa takut dan khawatir. Guntur dan guruh saling bersahutan. Bibir kami terus berdzikir berharap badai segera berlalu.
Selang satu jam lebih kiranya, badai angin berhenti. Namun masih menyisakan hujan yang tak terlalu deras. Kami berpamitan dan mengucapkan terima kasih atas pertolongan mereka. Dengan mengumpulkan keberanian, saya dan kakak bergegas menembus hujan untuk bisa segera sampai di rumah. Dalam pandangan masih kabur karena kabut dingin, mata saya melihat posisi rumah kami yang tidak jauh dari sawah dan tenda tempat  berteduh tadi.
Setengah berlari, saya menuju rumah meninggalkan kakak yang berhajan cepat. Ibu juga setengah berlari menyambut kami di halaman. Memeluk saya dan menggiring ke teras belakang.
Rupanya beliau sudah menyiapkan air mandi di ember besar dan satu termos. Beliau menuangkan air panas dalam ember. Langsung memandikan saya dengan air hangat. Saya menangis terisak memeluk tubuh Ibu.
Ibu memandikan sembari membelai tubuh saya. Suara beliau menenangkan jiwa dan badan saya yang menggigil dan ketakutan. Ya, saya takut dengan bencana alam yang tetiba terjadi hari itu. Ibu mencium ubun-ubun saya dan mendoakan keselamatan saya dan kakak.
Rupanya beberapa pohon tua di sekitar pabrik gula tumbang karena angin kencang. Listrik dipadamkan genting-genting tetangga ada yang pecah dan atap rumah bocor. Ibu juga khawatir dengan keadaan kami berdua, apalagi dalam waktu satu jam lebih belum.samlai rumah, padahal rumah les jahit cukup dekat saja.
Sependek ingatan saya, terjadinya angin kencang dan hujan sangat deras itu menjelang malam tahun baru. Karena untuk pertama kalinya, acara pesta pergantian tahun baru bagi warga pabrik gula tetap berjalan dan penerangannya digantikan dengan menggunakan lampu petromak dan lampu sorot  menggunakan genset.