Usai tilawah, beberes rumah, dan membersihkan badan, pandangan saya beralih ke jalanan dari balik jendela. Melalui tirai tipis, saya melamun mengikuti irama hujan yang terus menari di atas jalanan semen perumahan.
Beberapa kendaraan tetangga lalu lalang di depan rumah. Berangkat kerja dan mengantar anak sekolah. Tak peduli hujan menerpa, selalu ada doa tersemat di saat hujan, atas keberkahan dan rahmat dari Sang Maha Pencipta.Â
Saya turut tersenyum simpul. Hujan mengantarkan lamunan ke masa kanak, kenangan saat hujan datang dan saya menyambut dengan suka cita.
***
Sependek ingatan saya, umur waktu itu masih balita. Saat mendung datang, atas izin Ibu yang masih masak di dapur, saya bertandang ke rumah sahabat yang jaraknya hanya terpaut empat rumah. Saat itu jalanan perumahan pabrik gula sepi saja, karena hari libur.
Asyik bermain di rumah sahabat, hujan datang. Saya pamit ingin pulang. Sahabat turut mengantarkan dengan membawakan payung. Berjalanlah kami sepayung berdua dengan penuh canda tawa dan membentangkan satu tangan kecil masing-masing, bergaya menampung hujan di atas telapak tangan.
Tiba di rumah saya, masakan ibu sudah selesai. Beliau mengajak kami makan bersama. Jadilah sahabat tinggal sejenak di rumah sambil menunggu hujan reda.
Ya, sisa gerimis saja, akhirnya sahabat pamit pulang. Tapi karena belum puas bermain bersama, saya pun ikut mengantarkan dia pulang ke rumahnya. Tanpa kami duga, hujan tetiba deras kembali, kami berlarian menuju rumah agar tubuh tak basah, terlanjur payung sudah terlipat rapi sejak dari rumah saya.
Apa yang terjadi kemudian? Saat hujan kembali deras dan suasana dingin memeluk, kami justru makan es lilin kacang hijau! Sambil tertawa dan bercanda menghabiskannya, tanpa terasa masing-masing menghabiskan dua bungkus plastik kecil es lilin.
Hujan tak kunjung reda. Karena hari makin siang, mamanya sahabat meminta saya untuk pulang agar keluarga bisa beristirahat. Akhirnya sahabat dan kakaknya mengantarkan saya pulang dengan satu payung hitam berukuran besar untuk melindungi kami bertiga dari hujan.
Di tengah jalan, dalam jarak ratusan meter, saya dan sahabat malah berlarian menembus hujan, tubuh kami basah kuyup jadinya. Teriakan larangan mandi hujan dari si kakak tak kami gubris. Setelah berpamitan dengan Ibu usai mengantarkan saya, mereka langsung pulang.