Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kemarau dan Hujan, Hadirmu Tetap Kurindukan

2 September 2021   11:27 Diperbarui: 2 September 2021   11:49 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilusteasi hambar https://nusacaraka.com

Ternyata, ada gunanya juga punya persediaan genset, sehingga acara berhasil terlaksana meski dalam keadaan listrik padam.

***

Lalu, apakabar dengan kemarau?

Ah, ingatan saya melayang saat asyik bermain layangan di lapangan depan rumah. Langit yang cerah, menampakkan biru yang mempesona. Berhias pemandangan sawah bawang dan tebu di sekitarnya. Batas cakrawala membentang dengan tanaman buah lainnya yang berayun manja disapa angin semilir.

Ya, layang-layang  andalan mulai disiapkan. Mulai dari layangan berhias tokoh kartun atau wayang dengan ekor panjang di sudut segi layangan. Pula kaleng dan benang gelasan, begitu saya dan kawan-kawan menyebutnya.

Musim kemarau sungguh ditunggu dan mengasikkan. Sepulang sekolah, usai sholat dan makan siang, langsung bergegas ke tanah lapang. Tak peduli terik menyapa kening kami dan mengucurkan peluh. Hanya ada keriangan, kegirangan dan teriakan suka cita bermain layang-layang.

Jika layangan sudah membumbung tinggi, kebiasaan saya segera berteduh di bawah pohon. Kaleng kosong pengikat benang gelasan, ditindih bagian dalamnya dengan batu-batu ukuran besar. Atau diselipkan di batu-batu besar yang ada di lapangan.

Sambil tiduran di atas rumput, di bawah pohon, kepala beralaskan tangan, memandang jernihnya langit, tertawa puas melihat layang-layang menari di atas awan.

Adrenalin bisa naik nih, jika tiba-tiba ada 'layangan musuh' mendekati layangan kami. Waaah, mereka mengincar agar benang terputus, maka saya dan kawan-kawan berteriak kencang untuk menyelamatkan posisi layang-layang. Seru!

Alhasil, setiap hari main layangan, badan saya demam dan kepala pening karena tersengat matahari. Berlama-lama di bawah teriknya, membuat badan saya greges tidak karuan. 

Empat hari tak masuk sekolah, Pak Guru bertanya tentang keadaan saya. Malu juga ya, alasan sakitnya karena bermain layang-layang!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun