Mohon tunggu...
sisiusaha network
sisiusaha network Mohon Tunggu... -

komunitas wirausaha & ekonomi kreatif

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

M Abduh Baraba: Teori Nasi Goreng

4 April 2017   14:16 Diperbarui: 5 April 2017   02:30 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sisiusaha (04/4)

creative people.. Nasi goreng adalah sebuah bagian penting dari masakan tradisional Tionghoa, menurut catatan sejarah sudah mulai ada sejak 4000 SM dan saat ini telah tersebar ke pelosok penjuru dunia. Dibalik kelezatannya, nasi goreng juga layak dijadikan sebuah teori dalam kehidupan sosial masyarakat.

Nasi goreng sebenarnya muncul dari beberapa sifat dalam kebudayaan Tionghoa, yang tidak suka mencicipi makanan dingin dan juga membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Makanya, nasi yang dingin itu kemudian digoreng untuk dihidangkan kembali di meja makan. Dikenal ada banyak varian nasi goreng dengan berbagai pilihan seperti ayam, sapi, kambing, telor, seafood menjadi lauk utama, begitu pula bumbu-bumbu yang bervariasi, dari nasi goreng kampung, oriental, rempah, kecap, sayur, tomat, pedas bahkan nasi goreng mawut sampai nasi goreng gila pun ada.

Mengutip sebuah tulisan Ki Hadjar Dewantara, atau yang di masa mudanya bernama Suwardi Suryaningrat yang menggugah nasionalisme, khususnya yang berjudul "Andai Aku Seorang Belanda," juga akhirnya yang membuat Suwardi dihukum buang oleh pemerintah kolonial. Dalam gaya tulisan yang lembut, etis dan terhormat beliau menggambarkan bahwa semua orang di dunia ini sama seperti orang-orang Belanda, pasti merasa senang dan bangga akan negara dan bangsanya yang merdeka dan berdaulat. Serta tidak pantas bagi bangsa manapun untuk menjajah bangsa lain.

Ki Hadjar Dewantara dihukum buang ke negeri Belanda, tepatnya pada tanggal 6 September 1913 dan kembali ke tanah air pada tahun 1919. Kehidupan yang serba sederhana dan kekurangan dilewatinya bersama keluarga di negeri kincir angin yang dingin. Di negeri itu beliau banyak belajar dan semakin menyadari bagaimana substansi dari eksistensi seorang manusia dan sebuah bangsa.

Perbedaan utama bangsa Eropa dan Asia dalam pandangan Suwardi adalah pada karakter individualistik dan gotong-royong. Orang-orang eropa memiliki prinsip hidup bahwa kemuliaan manusia terletak pada kemandiriannya. Mereka disebut terhormat apabila kesuksesannya benar-benar adalah hasil jerih payahnya sendiri, tidak atas bantuan atau warisan. Prinsip tersebut membuat masyarakat cenderung hidup sendiri-sendiri. Kalaupun berinteraksi tentu atas kesepakatan-kesepakatan tertentu yang saling menguntungkan.

Bangsa Asia, dan Indonesia tentunya, lebih mengedepankan gotong-royong sebagai prinsip hidup mereka. Seseorang dianggap mulia apabila dapat bermanfaat atau berguna bagi orang lain. Saling tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari tanpa mengharapkan keuntungan meteri adalah hal yang biasa kita temui. Walaupun individualisme masih ditemui, namun tidak dominan.

Suwardi bukan seorang nasionalis yang buta. Dalam jiwa dan semangatnya yang memang senang belajar, Suwardi menganggap bahwa setiap bangsa memiliki kelebihan masing-masing. Oleh karena itu kita sebagai bangsa harus memperkuat karakter yang kita miliki. Namun di sisi lain, nilai-nilai positif dari bangsa lain dapat kita pelajari juga untuk diadaptasi dengan nilai-nilai kita sendiri. Ibaratnya nasi goreng sebagai karakter bangsa, kita dapat menggunakan bahan-bahan tambahan dari luar untuk meningkatkan kualitas nasi goreng tersebut. Namun sebelumnya kita sudah harus tahu bagaimana memasak nasi goreng. Maka bahan tambahan tidak akan merusak nasi goreng yang kita masak.

Apapun lauk serta bumbunya, tetap nasi goreng namanya. Ketika sebuah kedai atau bahkan resto menjual nasi goreng dengan bumbu andalan chefnya mampu memberikan rasa kenyang dan mungkin juga nikmat bagi pelanggannya, namun hal itu tidak lalu menjadi standar kepuasan secara umum.

Sebagai manusia kita sulit pada saat yang bersamaan mampu memenuhi keinginan dan kepuasan semua orang. Tapi setidaknya apabila sebagian besar orang dapat menerima dengan baik apa yang kita lakukan, itu sudah cukup membuktikan kebaradaan kita diterima.

Seperti halnya nasi goreng, teori nasi goreng mengatakan buatlah ramuan bumbu sesuai dengan apa yang menjadi standar, lalu tambahkan beberapa bahan lainnya dengan tujuan membuat cita rasanya semakin lezat. Namun jangan pernah memberikan nasi goreng yang menurut kita sangat lezat tanpa bertanya terlebih dahulu apakah suka pedas, manis atau asin. Karena ketidaksukaan atas satu rasa, dapat merusak nilai secara keseluruhan. (M Abduh Baraba)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun