Di luar rumah, hujan masih gencar mengirim pesan langit untuk bumi. Begitulah Ulfa, ia masih meronta-ronta menagih jawaban atas tanyanya. Jusna masih mengerut kening, ia mesti memberi jawaban yang sesuai porsi. Bagaimana tidak? Ulfa baru berusia enam tahun, tujun bulan. Belum cukup balig—usia yang segala titah Tuhan meski wajib ditunai.
Sejurus kemudian, Jusna membuka suara, serupa berbisik.“Bunga-bunga di bumi sedang kehausan. Seperti kita, bunga juga butuh air, sekadar minum dan mandi, Nak!” terangkan Jusna, sembari menujuk pada serumpun bunga mawar yang tertimbul bulir hujan.
Ulfa hanya mengangguk kepala. Tatkala, Jusna kembali menerangkan, “Tuhan yang menumpah hujan dari langit,” tandas Jusna. Ia hendak menjelaskan. Sekoyong-koyongnya, Ulfa begitu cepat menimpali Ibunya. Laksana kilat yang menyambar pohon cemarah di luar. Timpal Ulfa seledak guntur. “Bu, sewaku di sekolah, Ibu guru berkata, hujan itu musabab awan tidak kuat memeluk butir-putir air, maka tumpah menjadi hujan,” ia penuh khitmad menerangkan dalam bahasa kanak-kanak. Jusna mengangguk, pertanda memahami betul bahasa anaknya yang belum fasih penggalan kalimat.
“Pandai benar anak ini, soal menghafal,” Jusna membatin.
“Apa benar, Tuhan itu tinggal langit, Bu? Berati om pilot bertemu terus sama Tuhan?” ia menjeda, mengatur nafasnya.
“Ulfa bercita-cita menjadi pilot, Bu! Biar bertemu Tuhan terus,” mata Ulfa terbelalak, sembari menggubris seyum. Lesung pipinya begitu manis dipadang.
Jusna tak kuasa menahan tawanya. Ia merasa lucu dengan tanya anaknya. Sehebat itulah seorang Ibu. Dalam situasi yang genting seperti itu, ia masih sempat menggubris senyum. Dan, memang mereka memiliki senjata pamungkas menuntaskan jawaban yang dibutuhkan anak yang sedang bertanya. Jusna sembari mendekatkan mulutnya ke telinga anaknya, lalu ia membisik sesuatu. Ulfa hanya menggubris senyum puas setelah itu. Entah, apa yang dibisikan Ibunya? Ia sendiri yang mengetahui.
* * *
Jauh sebelum dirinya dipinang Muhajir, sang imam mesjid Amirul Mukminin itu. Atau, setelah menikah dan diri mendekam di rumah. Jusna semasa kanak-kanak, pernah nyantri di sebuah pondok pesantri, di kota, tempatnya lahir. Namun, dirinya tidak sampai tamat, tatakala ia dipaksa ayahnya menikah di usia lima belas tahun.
Di pondok yang pernah Jusna nyatri kerap mengaji filsafat di akhir pekan. Ia memiliki pengetahuan tentang filsafat. Bahkan, ia menghafal di luar kepala deretan nama filsuf, seperti: Socrates, Plato, Aristotes, dan Immanuel Kant. Kerap mengaji filsafat. Sampai-sampai para orangtua santri yang lain, taklagi mengijinkan anak-anaknya menyantri. Mereka takut anaknya tertular berpikir atau bertanya yang aneh-aneh.
Dahulu, Jusna masih kanak-kanak. Serupa, ulfa. Ia kerap menjatuhkan pertanyaan yang aneh-aneh pada ustaznya di pondok pesantren, “kenapa nabi tidak berasal dari kaum Hawa? Kenapa perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam salat? Dan masih banyak lagi. Toh, saat ini Ulfa mengikuti jejaknya. Dirinya kerab didatangi guru-guru Ulfa di sekolah. Mereka mengaduh padanya.