Hai teman-teman semua, kembali lagi bersama aku untuk membahas seputar keuangan mahasiswa. Setelah beberapa hari ini kita membahas tentang investasi, sekarang aku akan membahas sedikit lebih dalam lagi, sesuatu yang membuat aku sadar cara melihat uang. Sebenarnya ini bukan tentang cara mendapatkan uang, tapi lebih ke bagaimana cara kita menjaga uang dan diri kita sendiri dari hal-hal yang bisa menghancurkan semuanya dalam seketika, seperti masalah kesehatan yang mendadak.Â
Awalnya, sebagai mahasiswa aku merasa sudah cukup dewasa, karena sudah disiplin mengatur pengeluaran, nggak jajan boros, dan punya dana darurat yang cukup. Aku pikir, aku sudah punya benteng awal untuk mempertahankan uangku, dan aku sudah merasa amanserta percaya diri untuk segala kemungkinan yang bisa terjadi. Tapi ternyata aku salah. Ternyata benteng itu masih awal saja, masih bisa ditembus dengan mudah, bahkan hanya karena kondisiku yang tiba-tiba drop, semua tabunganku bisa saja hilang. Dan itu aku sadar karena cerita dari orang tua juga sih. Yuk kita mulai bahas.Â
Cerita dari balik sebuah kamar Rumah Sakit
Awalnya aku tidak mengerti apa itu perlindungan finansial, apa itu asuransi kesehatan dan sebagainya. Walaupun pada akhirnya aku sempat memutuskan untuk masuk jurusan Aktuaria yang akan menjadi pakar asuransi, tapi itu semua berawal dari Kamar Rumah Sakit tahun 2014 silam. Aku belajar dari  aroma khas antiseptik rumah sakit yang aku hapal, dari suara monitor detak jantung yang berbunyi monoton dan dari rasa cemas yang menetap di dada selama berbulan-bulan. Dan itu semua berasal dari adik kesayanganku.Â
Tahun itu, keluargaku melewati satu tahun yang terasa sangat panjang. Hampir setiap pulang sekolah, aku harus singgah ke kamar rumah sakit itu untuk meminta kunci rumah karena tidak ada orang dirumah. Dalam satu tahun itu, adikku harus bolak balik masuk rumah sakit karena penyakit yang terdengar musiman, tapi entah kenapa imunnya memang rendah yang membuat dia harus dirawat di tempat itu. Saya lupa berapa tepatnya, tapi angka nya sekitar 11-12 kali dalam setahun itu ia keluar masuk rumah sakit. Rumah sakit itu sudah menjadi ruang tunggu kedua bagi kami. Setiap telepon berdering di tengah malam, jantungku berdegup kencang, takut akan kabar yang datang. Sebagai bocah 9 tahun, hal itu sangatlah menakutkan. Disatu sisi khawatir, dan disisi lain merasa kasihan juga karena disaat itu juga sepertinya adik mulai trauma dengan jarum suntik.
Di tengah kekhwatiran akan kondisi adik, selalu ada kalimat yang menjadi penenang bagi papa dan mama, sebuah mantra yang membuat mereka tetap harus bersyukur: "Syukur, Tuhan.. kita masih punya asuransi untuk adek".
Awalnya aku merasa tidak suka dengan asuransi, karena perbedaan penanganan dari rumah sakit kepada orang yang punya asuransi dan yang bayar pribadi. Tapi kemudian aku paham, keluargaku tidak punya cukup uang untuk tidak pakai asuransi. Di suatu waktu, mama berbagi cerita dengan ku saat aku bertanya apakah aku juga punya asuransi. Mama bercerita tentang adek yang di tahun itu bisa saja mengeluarkan uang sampai 40 jutaan bahkan lebih, dan mama dengan sedih mengatakan bahwa itu bukan uang yang sedikit.Â
Aku terdiam. Angka 40 jutaan seolah-olah berputar dikepalaku. Itu bukan sekadar nominal, melainkan harga dari ketenangan keluargaku. Itu adalah alasan mengapa papa dan mama bisa fokus sepenuhnya pada kesembuhan adik tanpa harus dibayangi oleh kekhawatiran finansial. Saat itulah aku benar-benar menyadari, ancaman terbesar bagi stabilitas keuangan kita bukanlah godaan konsumtif, melainkan biaya tak terduga dari sebuah masalah kesehatan yang tidak terduga.Â
Membangun Tembok Terkuat: Asuransi Kesehatan
Sejak aku sudah mulai paham tentang konsep uang, orang tua sudah memperkenalkan aku pada konsep asuransi. Mempersiapkan asuransi bukan karena kita pesimis akan masa depan, tapi tentang kesiapan kita. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan tubuh kita besok. Menyiapkan payung sebelum hujan turun bukan berarti kita berdoa agar hujan datang, bukan? Kita melakukannya agar kita tidak basah kuyup dan sakit saat hujan benar-benar tiba. Kesehatan juga demikian. Kita berdoa agar selalu sehat, tapi kita juga harus menyiapkan diri secara finansial jika Tuhan menguji kita dengan sakit.
Sejak tahun-tahun itu, aku mulai benar-benar paham. Proteksi finansial, terutama yang kesehatan, itu bukan pilihan. Itu sebuah keharusan. Ini bukan soal takut sakit, ini soal siap menghadapi biaya tak terduga yang bisa menghancurkan mimpi kita dan beban orang tua.Â