Aku heran ketika beberapa tahun yang lalu, membaca suatu artikel luar negeri mengenai manajemen HRD. Kebetulan yang menulis adalah Kepala HRD. Aku lupa namanya. Tapi masih mengingat kalimatnya, "Sebagai staff suatu perusahaan, harus berkarakteristik profesional dan kompeten walaupun dibully. Harus bersikap baik kepada pembully."
Aku mengerti maksud si penulis tersebut. Ketahanan mental sangat diperlukan dalam organisasi perusahaan. Harus menjalin kerjasama dengan staff mana pun yang karakteristiknya berbeda-beda, termasuk pembully. Tapi kalimat bersikap baik kepada pembully itu berarti memaklumi tindakan bully. Seolah-olah bully adalah hal yang wajar. Seharusnya, ia memberikan nasehat bahwa bully adalah hal yang tak dibenarkan dalam budaya perusahaan.
Dalam ilmu manajemen, dilatih untuk bisa membentuk orang. Jadi, lebih mendorong staff untuk menghasilkan yang terbaik. Jika staff yang baru masuk tak bisa menghasilkan kinerja yang baik, maka tak hanya staff yang dipersalahkan, tapi trainernya karena gagal transfer ilmu. Seringkali supervisor itu membully, tapi tak bisa memberikan teladan bagaimana kerja yang baik.
Dengan kata lain, jangan maklumi perbuatan bully dalam kehidupan baik di keluarga, sekolah, tempat kerja, atau pun internet.
Aku tak bermaksud menjual kisah Almarhum kakakku. Ini sebagai contoh nyata bahwa tindakan bully bisa berakibat fatal untuk hidup seseorang.
"Kau harus berjanji padaku. Jangan pernah percaya siapa pun," ujar Kakak sembari menggenggam kedua tanganku. Air mata berlinangan di pipinya yang cekung.
Walaupun saat itu aku masih berusia 10 tahun, kalimat itu terngiang hingga sekarang. Aku tak bisa melupakan tatapan mata sendu kakak laki-lakiku seminggu sebelum ajal menjemput. Pecah pembuluh darah di usia muda karena tekanan darah tinggi. Ia depresi.
Sebulan Kakak mengamuk. Tak mau makan. Hanya mau minum soft drink. Walaupun sudah berobat ke tiga dokter, ia tak mau minum obat apa pun. Ia hanya mempercayai Alm pamanku yang seorang dokter dan saat itu sedang sibuk, tak bisa ditemui. Ketika ia minum obat dari Alm pamanku, semuanya sudah terlambat. Organ-organ tubuhnya sudah rusak.
Pembully Kakak tak bisa kuceritakan secara gamblang. Kakakku sangat tertutup padaku yang masih kecil saat itu sehingga aku hanya bisa menduga-duga. Pokoknya, aku tahu ada yang membully Kakak. Dan itu tak hanya 1 orang.
Mengapa Kakak memilih untuk menyerah pada bully? Padahal sebulan lagi Kakak akan berangkat menuju kebebasan untuk bersekolah di MIT. Ia ingin menjadi ahli nuklir. Semua biaya sudah tersedia (saat itu Mamaku usaha properti dan kami hidup berkecukupan). Akhirnya, biaya kuliah itu dipakai untuk biaya pemakaman selama 7 hari. Begitu banyaknya orang yang datang. Kerabat, teman-teman sekolah Kakak, dan tetangga. Makanan tumpah ruah karena tak hanya yang disediakan, tapi banyak orang juga yang mengantarkan makanan.