Ditetapkannya undang-undang untuk melindungi anak justru membuka babak baru yang lebih kompleks dalam perjuangan Indonesia melawan perkawinan anak. Â Publik sangat senang ketika Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 disahkan untuk menaikkan usia minimal perkawinan menjadi 19 tahun. Â Namun, yang terjadi selanjutnya adalah paradoks:Â
jumlah permohonan dispensasi kawin di pengadilan melonjak drastis dari sekitar 23.000 kasus pada 2019 menjadi lebih dari 64.000 kasus pada 2020. Â
Lonjakan ini menunjukkan seberapa besar masalah sebenarnya, karena praktik-praktik yang sebelumnya mungkin tidak terlihat oleh mata publik kini dipaksa masuk ke dalam sistem peradilan, menjadikan ruang sidang sebagai arena pertempuran penting yang baru.
Konteks yang lebih luas menunjukkan betapa gentingnya situasi ini. Indonesia berada dalam kondisi darurat perkawinan anak, menempati peringkat kedelapan di dunia dan kedua di ASEAN untuk jumlah absolut kasus. Pada tahun 2018, satu dari sembilan anak perempuan telah menikah sebelum usianya genap 18 tahun, sebuah fenomena yang didorong oleh serangkaian faktor yang saling mengunci, mulai dari kemiskinan struktural yang menjadikan perkawinan sebagai strategi ekonomi keluarga, norma sosial-budaya yang menganggapnya wajar, hingga terbatasnya akses terhadap pendidikan berkualitas dan layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif. Dampaknya pun bersifat sistemik dan menghancurkan, tidak hanya merampas hak anak atas pendidikan dan kesehatan, tetapi juga menjebak mereka dalam lingkaran kemiskinan antargenerasi dan meningkatkan kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga.
Menghadapi realitas yang kompleks ini, Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), sebagai salah satu Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) kunci, mengambil peran strategis yang berlapis.Â
Pertama, Plan Indonesia secara efektif menjalankan fungsi sebagai pengawas (overseer) dengan melakukan advokasi dan kritik berbasis bukti.Â
Setelah menjadi bagian dari koalisi yang berhasil mendorong revisi UU Perkawinan, mereka tidak berhenti. Sebaliknya, mereka mengarahkan fokus untuk mengawasi implementasi di lapangan. Melalui riset dan dialog kebijakan, Plan Indonesia secara vokal mengungkap bahwa sekitar 90% permohonan dispensasi kawin dikabulkan oleh hakim. Herbert Barimbing, Program Manager Plan Indonesia, menyatakan bahwa keputusan hakim seringkali lebih dipengaruhi oleh tekanan keluarga atau lingkungan, bukan kepentingan terbaik anak.Â
Kritik ini diperkuat oleh temuan bahwa Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) menjadi alasan utama yang hampir selalu diterima hakim untuk mengabulkan dispensasi, dengan dalih "menghindari kemudharatan" atau aib sosial, sebuah pertimbangan yang mengesampingkan dampak jangka panjang pada anak.
Di samping peran pengawasan yang kritis tersebut, Plan Indonesia juga bertindak sebagai mediator (mediator) yang terampil.Â
Mereka memahami bahwa konfrontasi saja tidak cukup, sehingga secara simultan membangun jembatan kolaborasi. Di tingkat nasional, mereka bermitra dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) dalam Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA), di mana mereka disebut sebagai salah satu lembaga masyarakat kunci yang digandeng untuk mengkampanyekan isu ini secara lebih masif.Â
Di tingkat lokal, mereka bekerja sama dengan Pemerintah Daerah, seperti Pemprov NTB dan Pemkab Sumbawa, untuk menyelaraskan program dan kebijakan. Kolaborasi ini bahkan merambah hingga ke lembaga yudikatif, di mana Plan Indonesia menandatangani kerja sama langsung dengan Pengadilan Agama Giri Menang di Lombok Barat untuk menerapkan program konseling pra-putusan yang inovatif.Â
Hubungan mediasi ini juga meluas ke sektor Pasar, di mana Plan Indonesia menjadi penghubung yang efektif antara sumber daya filantropi dari perusahaan seperti Google.org dan Citi Foundation dengan kebutuhan nyata di komunitas, menyalurkan dana tersebut ke dalam program-program pemberdayaan ekonomi bagi kaum muda.Â
Namun, jika ditelaah lebih dalam, peran yang paling fundamental dan paling sesuai untuk mendefinisikan esensi strategi Plan Indonesia dalam kasus ini adalah sebagai Penyeimbang (Balancer).Â