Pada sebuah diskusi terbatas, seorang mahasiswa magister melontarkan pertanyaan yang menggugah, "Mengapa para profesor dan doktor hari ini lebih sibuk menjaga jabatan daripada menjaga kebenaran?" Kalimat itu terdengar sinis, tetapi tidak bisa diabaikan begitu saja. Ia menyuarakan keresahan yang diam-diam tumbuh di tengah masyarakat kita, bahwa gelar akademik yang dahulu dijunjung tinggi sebagai simbol kecerdasan dan integritas, kini tidak lagi menjadi jaminan keberanian moral.
Kita hidup dalam suasana di mana suara-suara intelektual justru menjadi sunyi, bahkan ketika kebijakan menyimpang, ketika kekuasaan berlaku semena-mena, dan ketika masyarakat sangat membutuhkan penjelasan yang jujur dari mereka yang memahami persoalan secara mendalam. Yang justru muncul adalah pernyataan yang aman, sikap yang netral, dan diam yang penuh perhitungan. Bukan karena tidak tahu apa yang sedang terjadi, melainkan karena sangat sadar akan risikonya bila bersuara. Gelar akademik kini tidak lagi hadir sebagai kompas moral, melainkan berubah menjadi akses menuju posisi, tidak lagi menjadi tanggung jawab, melainkan lambang status.
Fenomena ini bukan hanya soal pribadi. Ia lahir dari sistem yang lebih besar. Banyak kampus kita hari ini dirancang untuk mencetak teknokrat, bukan pemikir yang berani mengambil sikap. Pendidikan tinggi didorong mengejar angka dan capaian administratif seperti akreditasi, publikasi, dan indeks kinerja. Mahasiswa pascasarjana diajarkan cara menulis jurnal ilmiah, tetapi tidak dibiasakan berdialog tentang etika, keberpihakan, dan makna ilmu itu sendiri. Ilmu dipisahkan dari nilai, seolah-olah netralitas adalah satu-satunya kebajikan. Padahal di dunia nyata, justru keberpihakan yang menentukan apakah seseorang benar-benar hadir sebagai intelektual atau hanya operator data.
Dalam situasi seperti ini, tidak mengejutkan bila banyak akademisi memilih untuk diam atau bahkan menjadi bagian dari sistem yang dahulu seharusnya mereka koreksi. Bahkan, tidak jarang gelar tinggi digunakan untuk membenarkan kebijakan yang merugikan publik. Legitimasi akademik berubah fungsi menjadi alat kekuasaan, bukan alat pembebasan. Akibatnya, kepercayaan masyarakat mulai goyah, bukan kepada ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan kepada mereka yang mewakilinya.
Meski begitu, harapan belum sepenuhnya padam. Di berbagai tempat, masih muncul suara-suara jernih yang memilih untuk tidak tunduk. Masih ada akademisi yang menjaga marwah keilmuan dengan keberanian dan integritas. Mereka menulis dengan terang, berbicara tanpa takut, dan berdiri di tengah tekanan. Jumlahnya memang tidak banyak, tetapi mereka adalah pengingat bahwa gelar akademik seharusnya membawa tanggung jawab sosial, bukan sekadar kehormatan pribadi.
Kini saatnya kita menata ulang arah pendidikan tinggi dan membangun kembali peran intelektual dalam masyarakat. Kita tidak hanya memerlukan orang-orang cerdas, tetapi orang-orang cerdas yang memiliki keberanian moral. Kita tidak cukup hanya mencetak doktor dan profesor, tetapi juga harus menghidupkan kembali nurani keilmuan yang jujur, terbuka, dan berpihak kepada yang benar. Sebab jika ilmu tidak lagi mampu melawan ketimpangan, dan para cendekiawan tidak lagi bicara tentang kebenaran, maka sesungguhnya kita sedang menghadapi kekosongan yang lebih berbahaya daripada kebodohan, yaitu kekosongan makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI