Mohon tunggu...
Indana Zulfa
Indana Zulfa Mohon Tunggu... Murid Guru -

Jiwa Liar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hijrahku, Misiku

15 September 2014   23:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:36 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Darah untuk kesekian kalinya pada tahun pertama berada di lingkungan sekolah yang baru. Rasanya ingin sekali ku membalas orang-orang itu dengan tonjokan super ku. Tapi sayangnya tubuhku terlalu mudah mereka kendalikan dengan jurus entahlah itu apa namanya. Mereka ada 4 orang, aku ingat benar itu. Sama sekali tak ada rencana melaporkan pada guru apalagi orangtua. Sudahlah, suatu saat mereka akan tau, bahwa apa yang mereka lakukan selama ini adalah kesalahan besar. Dan aku, aku tak akan hanya diam dan membiarkan begitu saja. Untuk beberapa hari aku membuat misi yang ku rancang sedemikian rupa. Misi untuk tahun kedua ku, di SMA.

Aku awali misiku dengan meminta doa restu kepada ibu, seorang yang begitu amat berharganya untuk ku, Teguh Putra. Kepada ayah, aku menceritakan segalanya, tentang semuanya. Tak ada saran ataupun nasihat darinya, tapi dengan menceritakan segalanya, rasanya leganya bukan main. Ayahku sudah 17 tahun meninggalkan kami, aku dan ibu. Tepatnya 1 bulan sebelum aku terlahir di dunia ini. Aku memang memiliki ayah tiri pada waktu SD, tepatnya kelas 2. Tapi sayangnya pernikahan ibu dan ayah tiriku tak bertahan lama, mereka bercerai. Aku tak tau alasan apa yang menyebabkan mereka bercerai saat itu, yang ku tau pada waktu itu aku kembali tinggal bersama hanya dengan ibu. Dan beberapa tahun kemudian, ibu pun dinikahi oleh seorang yang katanya adalah cinta pertamanya. Nasib mereka sama. Ayah ke tiga ku ini juga ditinggal mati oleh istrinya, dan tak meninggalkan keturunan. Itulah sedikit cerita tentang ibu tercintaku. Perjalanan hidupnya tak sebegitu indah para ibu lainnya.

Kembali tentang misiku. Misi ku mendapat persetujuan ibu seratus persen. Ayah bahkan 1000 persen setuju. Persetujuan mereka akan melancarkan misiku. Yuhu,,,,seharian aku bersiap-siap untuk itu.

Besoknya, aku berpamitan pada teman-teman sekolah, guru, dan juga penjaga kantin yang baksonya mungkin akan ku rindukan untuk beberapa waktu lamanya. Iya, aku memilih untuk berpindah sekolah. 4 orang yang merasa sok kuasa itu menertawakanku, biarlah aku menjadi lelucon bagi mereka untuk sesaat. Seorang dari mereka menawarkan damai, tapi aku dengan yakin menolak tawaran damai mereka. Biar ini menjadi pelajaran bagi mereka. Meski awalnya mereka tak menyadarinya.

Segala persiapanku matang sudah, saatnya aku berangkat menjalankan misiku. Aku melewati beberapa kabupaten, dan setelah beberapa jam, akhirnya aku sampai di kabupaten yang berada di propinsi yang berbeda. Aku memilih nyantri.

Beberapa hari sebelum itu, aku merilis daftar pesantren. Dan aku akhirnya mendapat pesantren yang tak ada dalam daftar nama pesantren yang ku pilih. Tawaran dari ayah dan ibu tentang pesantren ini membuatku begitu mudahnya merelakan daftar pesantren yang ku pilih. Tempat belajar baruku, aku datang.

Tempat baru akan ada orang-orang baru, peraturan baru, tentunya semangat baru. Pilihan ayah dan ibu benar-benar tepat. Aku sangat menyukainya. Tuhan, terimakasih.

Aku memilih untuk menghafalkan al Quran, dengan tak meninggalkan pendidikan formalku yang terhitung kurang 2 tahun. Satu tahun berjalan lancar, tapi untuk tahun selanjutnya, datang satu rintangan. Perempuan.

Aku tak boleh mengingkari misiku yang di dalamnya termuat bahwa aku tidak boleh berpacaran atau mungkin yang sejenis dengan itu. Tak mudah ternyata. Aku tak pernah memikirkan sebelumnya, bahwa akan sesulit ini. Benar saja, karena aku yang pertama menyukainya. Tepatnya menyukainya sejak pertemuan pertama, saat menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat provinsi. Aku dan dia menjadi perwakilan sekolah. Alamak, apakah aku akan mengingkari misiku?

Setia terhadap hati nurani adalah hal yang tepat, aku meyakini itu. Tapi saran dari orang lain juga sama pentingnya. Teman satu kelasku tau kalau aku menyukai perempuan yang ternyata adalah adiknya. Dia sama sekali tak marah, malah dia sengaja mengajakku ke kantin sekolah untuk membicarakan hal ini. Dia tersenyum renyah sambil menepuk pundak ku, “dia sudah ditunangkan dengan putra kyai, apa kamu benar-benar tak mengetahui ini sebelumnya?”. Bodohnya aku yang tak tau tentang hal ini sejak awal.

Aku anggap ini sebagai pengalaman pertama ku tentang perempuan. Benar saja, dalam hati hanya ada satu perempuan yang setia padaku selama ini, ibu.

Minggu, saatnya berlibur sejenak dari aktivitas rutin. Saatnya menenangkan diri, dari kesibukan, bahkan menenangkan diri dari perempuan. Jelas aku tak boleh memikirkan orang yang sudah milik orang.

Tiba-tiba ada panggilan dari kantor pesantren, mungkin ayah dan ibu. Tapi kenapa mereka kesini tanpa memberi tau sebelumnya. Begegas aku. Belum aku membuka pintu kamar, seorang yang ku kenal terlebih dulu membuka pintu kamarku. Salah satu dari 4 orang itu.

Darah yang keluar dari hidungku kembali mengenai putih seragam SMA ku. Mereka terdiri dari 4 orang. Teman kelasku. Mereka marah karena aku menolak memberikan lembar jawaban ujianku pada mereka saat ujian. Sebenarnya tak ada hak untuk mereka melakukan semua ini, apalagi mengkroyok ku. 4 lawan 1. Ah, begitu menyedihkan.

Aku harus pergi ke sungai untuk membersihkan bekas darah yang ada. Ah, sudah bosan aku. Dan tentunya menunggu sampai kering. Sambil menunggu, aku baca materi pelajaran yang tadi diajarkan guru di kelas. Sesampainya di rumah, ibu langsung menyuruhku untuk bersiap-siap sholat ashar. Dan akhir-akhir ini menanyakan bagaimana sekolahku. Aku kebingungan untuk menjawabnya. Semoga ibu tak curiga.

Darah yang keluar dari hidung, bekas luka dan pusing. Ibu, aku harus menyembunyikannya darimu, entah sampai kapan itu. Sama sekali aku tak mau kau khawatir dengan keadaanku. Karena aku tak menghitung berapa kali aku dihajar oleh mereka, 4 orang itu.

“Teguh, aku tau, kau adalah orang yang tak suka balas dendam. Jadi, aku beranikan diri untuk meminta maaf pada mu secara langsung. Karena aku juga tau kau juga orang yang pemaaf. Kau tau, setelah kau pindah dari sekolah, kami benar-benar sadar atas kesalahan yang kami lakukan selama ini. Bodohnya kami karena telah melakukan semua itu. Kami dikeluarkan dari sekolah, karena ketahuan mengkroyok azam yang sering juara itu. Iya, setelah kau pindah sekolah, dia yang menyabet juara 1. Sayangnya dia tak sepertimu, dia melaporkan kami ke kepala sekolah. Orang tua kami marah besar. Karena nilai bagus yang kami dapatkan selama ini bukan dari kerja keras kami belajar. Tapi selalu mendapat contekan, secara paksa. Dan diantara kami, aku yang nasibnya kurang beruntung. Teman-teman masih bisa untuk melanjutkan sekolah di tempat lain, tapi aku? Orang tua ku amat kecewa. Mereka sudah tak mau tau lagi tentangku. Mereka malah pergi entah kemana. Kau taukan ayah ku seperti apa? Pencopet. Ibuku? Mana tau aku dia ada dimana sekarang. Hidupku hancur.”

Aku salah besar jika masalah yang ada padaku sekarang adalah masalah yang besar. Teman yang berada di hadapanku sekarang, bahkan aku tak mau membayangkan bagaimana aku jika menjadi sepertinya. Aku sama sekali tak ragu menawarkan padanya untuk ikut di pesantren ini, belajar denganku, belajar untuk memperbaiki diri, belajar untuk memperkaya ilmu, belajar untuk memaafkan sesama.

Meski dia harus aku rekomendasikan untuk ikut di panti. Tapi tak masalah, dia mau menerimanya, bahkan raut wajahnya akhir-akhir ini benar-benar menyenangkan. Salah satu dari 4 orang itu, sekarang menjadi temanku. Aku bahagia. Bahkan amat bahagia. Tapi sayangnya aku belum tau kabar dari 3 yang lain. Semoga mereka belajar dengan baik sekarang.

Tahun keduaku di pesantren berakhir dengan kelulusanku. Tak masalah meski tak mendapat juara umum. Yang paling penting adalah hafalanku sudah lancar. Dan tak masalah juga jika perempuan yang ku sukai itu sekarang sudah menikah dengan putra pengasuh. Yang akan menjadi masalah adalah jika tongkat pembantu ku untuk berjalan ini hilang. Iya, aku kehilangan kakiku sejak SD. Sebelum ibu bercerai dengan suami keduanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun