Mohon tunggu...
Sindy Alya Syahputri
Sindy Alya Syahputri Mohon Tunggu... Jurnalis - journalist wannabe

a little captain in galaxy far-far away.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengaruh Kultur Pop dalam Gaya Bahasa Demonstran Indonesia

6 Oktober 2019   21:50 Diperbarui: 7 Oktober 2019   02:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berjalan kaki sambil membawa poster saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa yang diikuti ribuan mahasiswa itu menuntut dilakukannya peninjauan kembali atas UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi, dukungan terhadap KPK, dan menolak rencana pengesahan RUU KUHP. (ANTARA FOTO/R REKOTOMO)

Loh, kalau memang hal tersebut adalah cara yang efektif untuk membangun pendekatan kepada kaum milenial untuk menularkan nilai-nilai yang bermanfaat kenapa tidak? Atau kita bisa membaca selera rata-rata milenial dari konten-konten yang trending di YouTube. 

Terkadang sadar ga sih, kita sering memaksa nalar kita yang tidak di-upgrade kepada generasi yang tak hidup bila tak be-wifi ini.

Para demonstran mahasiswa berkeinginan agar DPR RI  merevisi kembali RUU KUHP. Jadi, supaya pesan yang hendak disampaikan meluncur dengan baik maka bahasa-bahasa yang mereka gunakan adalah gaya bahasa yang kreatif, sederhana, mudah dicerna.

Hal ini menandakan bahwa slogan "NKRI Harga Mati" sudah habis masanya. Tergantikan dengan tren berbahasa kreatif. Jangan salah, proses penciptaan slogan yang mereka bawakan memebutuhkan kualitas intelektual yang tidak bisa terbangun dalam satu malam loh.

Barangkali, ini adalah salah satu faktor mengapa berita aksi kali ini dianggap berita penting dan menarik.

Selama ini kan banyak yang mengeluh bahwa aksi tidak pernah diliput media lah, rezim pecundanglah, media berpihaklah. Jadi kalian sudah tahu kan cara menarik perhatian media-media ini? Hehe.

Bisa, semua orang bisa bersuara. Dijamin kok dalam undang-undang sampai revisi undang-undang dijadwalkan kembali kali ya! Hehe.

Sayangnya di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa tulisan-tulisan yang di spanduk itu konyol dan tidak mencerminkan budaya mahasiswa yang identik dengan kaum intelektual. Jadi apakah bahasanya harus berat-berat seperti bahasanya Vicky Prasetyo?

Maksudnya begini, terbaca seperti sebuah pembelaan tentunya, menulis hal yang berbau komedi namun satir itu adalah proses yang membutuhkan waktu. Coba lakukan sekarang, buat satu tagline dengan tema yang sama saja RUU KUHP, cukup sebaris saja, simpulkan saja sendiri bagaimana hasilnya.

Bukankah kalimat seperti, "mahasiswa bahasanya tidak membumi" atau "mahasiswa sok intelek" acap kali terdengar di aktivitas kita sehari-hari?

Saat ini memang faktanya kita berada di era Dilan 1990, buku-buku khas milenial yang kekuatan penjualannya berasal dari untaian kalimat yang nancep di hati dan berkolaborasi dengan desain visual menarik seperti buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun