Mohon tunggu...
Sindy Alya Syahputri
Sindy Alya Syahputri Mohon Tunggu... Jurnalis - journalist wannabe

a little captain in galaxy far-far away.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengaruh Kultur Pop dalam Gaya Bahasa Demonstran Indonesia

6 Oktober 2019   21:50 Diperbarui: 7 Oktober 2019   02:56 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berjalan kaki sambil membawa poster saat berunjuk rasa menolak UU KPK hasil revisi dan RUU KUHP, di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/9/2019). Unjuk rasa yang diikuti ribuan mahasiswa itu menuntut dilakukannya peninjauan kembali atas UU KPK hasil revisi ke Mahkamah Konstitusi, dukungan terhadap KPK, dan menolak rencana pengesahan RUU KUHP. (ANTARA FOTO/R REKOTOMO)

Catatan copywriter belagu dan sok tahu.

Sudah banyak para ahli yang tiba-tiba bermunculan di linimasa media sosial menegaskan posisinya dalam melihat demonstrasi yang dilakukan mahasiswa soal RUU KUHP di gedung DPRD yang terjadi di provinsi-provinsi besar di Indonesia.

Poster-poster buatan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi juga tak luput dari pandangan para citizen journalist yang tak sabar ingin membagikan perjuangannya ke dunia per Instagraman.

Mojokdotco, media yang rutin memberi makan otak-otak yang menganut ideologi sarkasme dulu hiya-hiya kemudian, mengunggah fotodi laman Instagramnya yang bertuliskan "Patah Hati Sama Rezim" atau "Itu DPR Apa Lagunya Afgan? Kok Sadis".

Tak satu atau dua orang yang memuji kreativitas dari spanduk mahasiswa yang turun ke jalan itu. Apalagi menyadari bahwa tulisan-tulisan yang mereka bawa ternyata mencuri perhatian pengguna internet Indonesia dan berhasil menjadi framing menarik para media-media arus utama atau  media-media online.

Bukan demonstrasinya yang gaya baru, tapi sebagai copywriter bau kencur yang pernah mendapatkan jabatan staf kajian strategis di kampus tapi malas mengkaji isu-isu hot pada waktu itu, saya ingin menyampaikan bahwa proses berkomunikasi dalam media tulisan itu tak lepas dari urusan berpikir kreatif dan berpikir kritis.

Tulisan-tulisan yang disebarluaskan dengan gaya bahasa menarik ala kultur pop, membuat pesan-pesan yang hendak disampaikan dalam aksi-aksi kemarin tersampaikan dengan baik dan masif alias viral.

Kultur pop adalah budaya populer yang lahir untuk menembus fenomena di masyarakat. Timbulnya ide, perspektif, perilaku untuk melawan arus masyarakat utama yang menganggap kelompoknya lebih hebat dibandingkam kelompok lainnya.

Budaya ini sudah ada sedari dulu, ingat saja waktu budaya Emo melanda muda-mudi di segala benua sekitar tahun 2000.an. Budaya yang dianggap anak muda mewakilkan masa-masa pencarian jati dirinya menuju dewasa. Identik dengan warna hitam, poni lempar, gaya hardcore.

Tahun berganti dan kita bertemu dengan kultur pop yang saat ini. Di mana kita dengan sangat mudah menemukan banyak budak cinta bertebaran memberi motivasi untuk selalu kuat menjalani lika-liku romansa dan itu tidak salah. 

Viral Demo Mahasiswa (Foto: Instagram Panji -- okezone.com)
Viral Demo Mahasiswa (Foto: Instagram Panji -- okezone.com)

Loh, kalau memang hal tersebut adalah cara yang efektif untuk membangun pendekatan kepada kaum milenial untuk menularkan nilai-nilai yang bermanfaat kenapa tidak? Atau kita bisa membaca selera rata-rata milenial dari konten-konten yang trending di YouTube. 

Terkadang sadar ga sih, kita sering memaksa nalar kita yang tidak di-upgrade kepada generasi yang tak hidup bila tak be-wifi ini.

Para demonstran mahasiswa berkeinginan agar DPR RI  merevisi kembali RUU KUHP. Jadi, supaya pesan yang hendak disampaikan meluncur dengan baik maka bahasa-bahasa yang mereka gunakan adalah gaya bahasa yang kreatif, sederhana, mudah dicerna.

Hal ini menandakan bahwa slogan "NKRI Harga Mati" sudah habis masanya. Tergantikan dengan tren berbahasa kreatif. Jangan salah, proses penciptaan slogan yang mereka bawakan memebutuhkan kualitas intelektual yang tidak bisa terbangun dalam satu malam loh.

Barangkali, ini adalah salah satu faktor mengapa berita aksi kali ini dianggap berita penting dan menarik.

Selama ini kan banyak yang mengeluh bahwa aksi tidak pernah diliput media lah, rezim pecundanglah, media berpihaklah. Jadi kalian sudah tahu kan cara menarik perhatian media-media ini? Hehe.

Bisa, semua orang bisa bersuara. Dijamin kok dalam undang-undang sampai revisi undang-undang dijadwalkan kembali kali ya! Hehe.

Sayangnya di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa tulisan-tulisan yang di spanduk itu konyol dan tidak mencerminkan budaya mahasiswa yang identik dengan kaum intelektual. Jadi apakah bahasanya harus berat-berat seperti bahasanya Vicky Prasetyo?

Maksudnya begini, terbaca seperti sebuah pembelaan tentunya, menulis hal yang berbau komedi namun satir itu adalah proses yang membutuhkan waktu. Coba lakukan sekarang, buat satu tagline dengan tema yang sama saja RUU KUHP, cukup sebaris saja, simpulkan saja sendiri bagaimana hasilnya.

Bukankah kalimat seperti, "mahasiswa bahasanya tidak membumi" atau "mahasiswa sok intelek" acap kali terdengar di aktivitas kita sehari-hari?

Saat ini memang faktanya kita berada di era Dilan 1990, buku-buku khas milenial yang kekuatan penjualannya berasal dari untaian kalimat yang nancep di hati dan berkolaborasi dengan desain visual menarik seperti buku Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini.

Kita berada di tengah orang-orang yang mengagungkan puisi Fiersa Bersari dan Handoko Tjung.

Atau lihat saja sambat-sambatan di beranda twitter Tirto, Kompas, bahkan Tempo yang juga ingin menghadirkan berita yang informatif dan faktual tapi menggunakan bahasa milenial yang akrab dengan keseharian kita semua. Seperti mantul dan santuy. Apakah media-media tersebut jadi kehilangan esensinya? Tentu tidak kan.

Hari ini ada beragam cara yang bisa kita pilih sebagai medium yang tepat untuk menyampaikan segala keresahan kita, dibanding menganggap hal yang lain salah dan harus mengikuti hal yang menurut kita benar, mengapa kita tidak belajar untuk jumpa di tengah saja? Belajar meredakan ego, belajar untuk terus mau belajar.

*) Note: Beberapa minggu lalu saya mengirimkan tulisan ini untuk kesekian kali di portal Mojok, namun saya sadari ada banyak kekurangan di dalam tulisan saya. Saya putuskan untuk mengunggah di Kompasiana, sebagai plaform belajar saya. Feedback dari para pembaca sangat saya harapkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun