Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena "Work From Hell" di Tengah Imbauan "Work From Home"

26 Maret 2020   17:17 Diperbarui: 30 April 2020   18:57 1937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: hukumonline.com

Menurut pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, SE tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Secara hukum SE bersifat hanya mengikat internal pemerintah, sehingga perusahaan swasta tidak punya kewajiban untuk mengikuti.

Upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan pekerja yang menjadi tanggung jawab perusahaan tidak diatur secara jelas dalam SE. Tidak ada kewajiban dan sanksi bagi perusahaan yang tidak menyediakan alat K3 untuk pencegahan Covid-19. Sehingga pekerja harus mengupayakan secara mandiri.

Ini bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1970, di mana alat-alat kelengkapan keselamatan pekerja adalah tanggung jawab perusahaan.

Poin dalam SE yang mengatur penyesuaian upah akibat pembatasan kegiatan usaha juga bertentangan dengan mekanisme pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan. Seharusnya ada mekanisme penangguhan upah bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum sesuai ketentuan.

Perusahaan harus mengajukan bukti tidak mampu dalam laporan keuangan kepada Gubernur, yang kemudian akan disetujui setelah mendapat pertimbangan Dewan Pengupahan. Jadi SE tidak bisa serta-merta digunakan perusahaan untuk tidak membayar penuh upah pekerja.

Dengan demikian dibutuhkan regulasi yang lebih kuat, sehingga ketentuannya bersifat mengikat dan melindungi pekerja.

Soal berikutnya terkait jaminan ekonomi dari pemerintah. Terbitnya SE seolah pemerintah melempar masalah kepada pengusaha. Pengusaha diimbau melakukan pembatasan kegiatan usaha tapi tidak diberi solusi atas potensi kerugian ekonomi yang akan timbul. Pada akhirnya pekerja juga ikut menanggung dampak ekonomi tersebut. Ini yang membuat beberapa perusahaan belum menerapkan WFH.

"Jelas tidak dijalankan oleh banyak perusahaan dan masyarakat karena tidak clear insentif dan sanksinya, harusnya minggu ini harus keluar kebijakan soal ini jika ingin efektif, seperti yang sudah diterapkan Inggris dan Malaysia," kata Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics & Finance.

Mengacu dari keterangan Bhima, pemerintah Inggris menyiapkan subsidi upah pekerja selama tiga bulan. Jadi ketika perusahaan tidak beroperasi maka 80% gaji pekerja akan ditanggung oleh pemerintah.

Sementara AS sedang membahas skema universal basic income untuk mengantisipasi skenario pembatasan aktivitas bekerja. Setiap warga AS akan mendapat subsidi penghasilan antara 1.000 - 2.000 dolar AS.

Dalam hal pengawasan, apa yang dilakukan Malaysia perlu dicontoh. Malaysia merupakan negara dengan kasus positif tertinggi di ASEAN, tapi tingkat recovery-nya paling tinggi. Dalam arahan social distancing, Malaysia memberlakukan denda 10 ribu ringgit bagi perusahaan yang melanggar aturan pembatasan kegiatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun