Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena "Work From Hell" di Tengah Imbauan "Work From Home"

26 Maret 2020   17:17 Diperbarui: 30 April 2020   18:57 1937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: hukumonline.com

Presiden Joko Widodo telah menyatakan peyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional. Pemerintah lalu melakukan upaya membatasi jumlah interaksi masyarakat dalam aktivitasnya guna menekan penyebaran virus.

Salah satu imbauan pemerintah ditujukan kepada pemilik usaha melalui Surat Edaran (SE) Kementrian Ketenagakerjaan No.M/3/HK.04/III/2020. 

Pemilik usaha diimbau untuk menghentikan seluruh atau mengurangi sebagian kegiatan usaha untuk mengurangi kemungkinan penyebaran Covid-19. Sehingga bekerja dari rumah atau work from home (WFH) menjadi salah satu cara menjaga jarak untuk tetap produktif di tengah krisis.

Tapi tidak semua perusahaan menerapkan WFH. Bagi pekerja yang tetap melakukan aktivitas kerja di tengah pandemi Corona seakan bekerja di neraka.

WFH lebih luwes diterapkan pada pekerja di sektor pemerintahan. Untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), pemerintah mengatur cara bekerja di rumah melalui Surat Edaran Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 19 Tahun 2020.

Implementasi WFH untuk ASN dilakukan melalui pembagian kehadiran dimana pejabat terkait akan menentukan pegawai yang diperbolehkan bekerja di rumah.

Untuk memastikan fungsi pemerintahan dan pelayanan publik tetap berjalan, setidaknya ada 2 pejabat struktural yang stand by. Beberapa unit pelayanan publik juga mulai dibatasi operasionalnya. WFH untuk ASN diberlakukan hingga 31 Maret.

Tapi di sektor swasta, WFH lebih sulit diterapkan. Ada kegiatan operasional dan alat kerja yang tidak bisa dipindahkan ke rumah.

Bagi sektor usaha seperti jasa, aktivitas pekerjaan masih memungkinkan untuk ditransformasikan ke media digital. Sehingga aktivitas pemasaran, komunikasi hingga koordinasi bisa dialihkan dengan bantuan IT dan teknologi komunikasi.

Tapi bagi sektor usaha produksi dan manufaktur akan lebih sulit, mengingat alat kerja tidak bisa digantikan.

Bagi beberapa perusahaan, pembatasan kegiatan usaha akan berdampak secara ekonomi. Turunnya pendapatan karena berkurangnya aktivitas produksi maupun operasional pelayanan adalah yang paling dikhawatirkan pengusaha.

Pengusaha juga belum melihat jaminan ketahanan ekonomi yang ditawarkan pemerintah di balik imbauan WFH. Pemerintah tidak mengatur secara rinci cara bekerja di rumah dan konsekuensi bagi pelaku usaha yang tidak menerapkannya. Sehingga pengusaha masih menganggap WFH sebatas imbauan.

Nasib Pekerja

Jika pengusaha tidak mampu menghindarkan resiko bisnis dan terlanjur mewajibkan pekerja untuk bekerja, lalu bagaimana nasib pekerja?

Dari kepentingan pekerja, ada hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, yang diatur dalam UU No.13 Tahun 2013 tentang ketanagakerjaan.

Tapi rasanya sulit berharap mendapat perlindungan kesehatan di tengah keterbatasan seperti sekarang. Untuk mendapatkan masker, hand sanitizer atau APD lain secara pribadi saja sulit, apalagi jika perusahaan harus menyediakan itu untuk seluruh pekerjanya

Belum hilang risiko ancaman kesehatan, pekerja dihadapkan pada risiko ekonomi. Beberapa perusahaan menerapkan pemotongan upah.

Dikutip dari asumsi.co (19/3), Zahra yang bekerja pada perusahaan ritel di Jakarta mengatakan perusahaan tempatnya bekerja menetapkan kebijakan pemotongan gaji sebesar 20% bagi karyawan yang bekerja purna waktu dan potongan 50% bagi karyawan yang bekerja dari rumah.

Begitu pula pengalaman Mazda, reporter kontrak sebuah majalah lifestyle yang harus rela masuk kerja secara normal walaupun gajinya dipotong 20%. "Alasan dari kantor, pendapatan turun dan banyak klien yang cancel," ucap Mazda.

Kebijakan pemerintah melalui SE Kemenaker menyinggung soal perlindungan pengupahan pekerja terkait Covid-19. Namun pemerintah hanya melarang pemotongan upah pada pekerja yang tergolong ODP (orang dalam pemantauan), suspect maupun positif Covid-19.

Kebijakan ini cukup melindungi hak pendapatan pekerja yang terdampak (ODP, suspect, positif), tapi tidak cukup melindungi keseluruhan pekerja lain yang beresiko terdampak.

Menerapkan WFH yang sebenarnya
Hal yang membuat WFH gagal diterapkan adalah tidak ada regulasi yang tegas. Dasar pelaksanaan WFH adalah SE Kemenaker yang pelaksanaannya diserahkan kepada Gubernur.

Menurut pengacara publik LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, SE tidak dikenal dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Secara hukum SE bersifat hanya mengikat internal pemerintah, sehingga perusahaan swasta tidak punya kewajiban untuk mengikuti.

Upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan pekerja yang menjadi tanggung jawab perusahaan tidak diatur secara jelas dalam SE. Tidak ada kewajiban dan sanksi bagi perusahaan yang tidak menyediakan alat K3 untuk pencegahan Covid-19. Sehingga pekerja harus mengupayakan secara mandiri.

Ini bertentangan dengan UU No.1 Tahun 1970, di mana alat-alat kelengkapan keselamatan pekerja adalah tanggung jawab perusahaan.

Poin dalam SE yang mengatur penyesuaian upah akibat pembatasan kegiatan usaha juga bertentangan dengan mekanisme pengupahan dalam UU Ketenagakerjaan. Seharusnya ada mekanisme penangguhan upah bagi perusahaan yang tidak mampu membayar upah minimum sesuai ketentuan.

Perusahaan harus mengajukan bukti tidak mampu dalam laporan keuangan kepada Gubernur, yang kemudian akan disetujui setelah mendapat pertimbangan Dewan Pengupahan. Jadi SE tidak bisa serta-merta digunakan perusahaan untuk tidak membayar penuh upah pekerja.

Dengan demikian dibutuhkan regulasi yang lebih kuat, sehingga ketentuannya bersifat mengikat dan melindungi pekerja.

Soal berikutnya terkait jaminan ekonomi dari pemerintah. Terbitnya SE seolah pemerintah melempar masalah kepada pengusaha. Pengusaha diimbau melakukan pembatasan kegiatan usaha tapi tidak diberi solusi atas potensi kerugian ekonomi yang akan timbul. Pada akhirnya pekerja juga ikut menanggung dampak ekonomi tersebut. Ini yang membuat beberapa perusahaan belum menerapkan WFH.

"Jelas tidak dijalankan oleh banyak perusahaan dan masyarakat karena tidak clear insentif dan sanksinya, harusnya minggu ini harus keluar kebijakan soal ini jika ingin efektif, seperti yang sudah diterapkan Inggris dan Malaysia," kata Bhima Yudhistira, ekonom Institute for Development of Economics & Finance.

Mengacu dari keterangan Bhima, pemerintah Inggris menyiapkan subsidi upah pekerja selama tiga bulan. Jadi ketika perusahaan tidak beroperasi maka 80% gaji pekerja akan ditanggung oleh pemerintah.

Sementara AS sedang membahas skema universal basic income untuk mengantisipasi skenario pembatasan aktivitas bekerja. Setiap warga AS akan mendapat subsidi penghasilan antara 1.000 - 2.000 dolar AS.

Dalam hal pengawasan, apa yang dilakukan Malaysia perlu dicontoh. Malaysia merupakan negara dengan kasus positif tertinggi di ASEAN, tapi tingkat recovery-nya paling tinggi. Dalam arahan social distancing, Malaysia memberlakukan denda 10 ribu ringgit bagi perusahaan yang melanggar aturan pembatasan kegiatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun