Mohon tunggu...
Simon Sutono
Simon Sutono Mohon Tunggu... Guru - Impian bekaskan jejak untuk sua Sang Pemberi Asa

Nada impian Rajut kata bermakna Mengasah rasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ali

23 Februari 2021   14:40 Diperbarui: 23 Februari 2021   14:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tujuh kurang delapan. Satu motor tiba di gerbang sekolah yang dipakai SD dan SMP. Dengan terburu anak laki yang dibonceng turun dari motor. Kejadian berikutnya cukup mengejutkanku. Aku menyipitkan mataku. Perempuan yang kuyakini ibu anak itu memukul kepala berhelm anak laki dalam seragam putih merah. Sepertinya ibu itu kesal.

Kutengarai kekhawatiran datang terlambat sebagai penyebab. Pandanganku beralih ke motor lainnya yang baru tiba. Bapak dan anaknya yang berkepang dua. Setelah turun dari motor anak itu memeluk ayahnya sebelum ia mendapatkan berkat dan kecupan di kening. "How sweet," gumamku. 

Aku menyalami anak perempuan itu yang menyeret tas beroda. Jabatanku beralih pada anak laki dengan wajah semrawut di belakangnya. Aku bisa memahami pukulan menjelang masuk sekolah bukanlah bekal motivasi yang menyenangkan. 

           "Lihat Bapak," kataku pada anak itu. Kuberikan senyuman terlebar yang kubisa.

          "Tarik nafas," lanjutku. Tanganku erat menggenggam tangannya sambil membayangkan energi yang mengalir ke tangannya. 

          "Masih ada waktu, belum terlambat. Go," hiburku seraya melepaskan genggaman tanganku. Mataku mengekor mengikuti anak berperawakan kecil yang  pergi menuju kelasnya. 

Pandanganku beralih seiring menghilangnya anak itu di balik tangga. 

          "Pak," sapa seseorang  

Aku menoleh dan kudapati dia mengulurkan tangan.

          "Ali,"' sapaku, "'Sudah sembuh?" aku bertanya.

          "Belum sih, Pak,"' jawab Ali. 

         "Hampir seminggu ya kamu absen."

         "Tidak ngitung, Pak."' 

         "Sebentar dulu, kerahmu," tanganku menjangkau kerah baju Ali. Merapikan. 

         "Rambutmu juga. Waktunya potong rambut. Kecuali mau potong rambut gratis di sekolah," komentarku. 

         "Nggak akan terjadi, Pak," ujar Ali. 

         "Syukurlah. Lebih baik begitu. Guntingan barber pastinya lebih rapi daripada gurumu."'

         "Bukan begitu, Pak," sahut Ali.

         "Saya berhenti sekolah," ujar Ali lirih.

         "Berhenti?" tanyaku kaget. Ali mengangguk. Aku menatap Ali menyelidik. Kutarik dia menjauhi gerbang. 

         "Kamu serius?" Ali mengangguk. 

         "Serius, Pak. Mama mau ketemu kepala sekolah pagi ini. Ngurus kepindahan saya."'      

         "Papa mama jadi berpisah." lanjutnya lirih. Wajah Ali menjadi muram. 

Tenggorokanku tercekat. Aku menelan ludah. Meskipun Ali pernah menceritakan permasalahan keluarganya, tetap saja kabar perpisahan itu membuatku miris dan sedih. 

         "Jadi?" kataku terhenti.

        "Saya ikut mama ke Palembang. Life must go on. Itu perkataan Bapak dulu, waktu saya tidak naik." Anak laki-laki itu mencoba tersenyum. 

        "Be brave. Be strong. Be a big boy. Dulu juga Bapak berkata begitu." 

       "Sekarang saya bukan lagi a big boy. Tapi a man. Sekarang saya menjadi a man bagi mama saya. Siapa lagi yang akan melindungi dia," ujarnya setengah terisak. 

Tak kuasa menahan haru aku memeluknya.

        "It's not fair for you, Ali," pikirku sambil mencoba menenangkan remaja tanggung yang baru beberapa minggu di kelas 9. Dan tentunya menenangkan diriku yang larut dalam cerita Ali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun