Mohon tunggu...
Simon Ono Sutono
Simon Ono Sutono Mohon Tunggu... Guru -

Guru Bahasa Inggris di Bandung yang senang menemukan keindahan dalam membaca dan menulis juga antusias mempelajari hal-hal baru seperti mengolah bahan makanan untuk keluarga dan kegiatan cinta lingkungan seperti pengelolaan takakura, biopori, sampah organik dan berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Nyinyir Berbahasa Inggris, Euforia Pilpres dan Apa yang Semestinya

28 Maret 2019   14:26 Diperbarui: 30 Maret 2019   17:02 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Pilpres 2019 memunculkan beragam fenomena, salah satunya adalah kenyinyiran. Salah satu bahan kenyinyiran ini adalah penguasaan Bahasa Inggris.

Di lini massa media sosial, penguasaan Bahasa Inggris capres petahana diolok-olok dan dibenturkan dengan kemampuan lawan politik seolah-olah mereka yang nyinyir  ini sungguh memiliki kemampuan Bahasa Inggris melebihi petahana atau paham sungguh kemampuan berbahasa Inggris petahana. 

Padahal kalau kita lebih mampu mengolah informasi, capres petahana merupakan salah satu entreprener berorientasi ekspor dan bermitra dengan pengusaha dari luar Asia yang tentu saja tidak terlepas dari penggunaan Bahasa Inggris. 

Demikian halnya dalam lingkungan keluarga petahana, sebagaimana kita ketahui kedua putranya menuntaskan pendidikan di luar negeri yang dengan sendirinya akrab berbahasa Inggris. Tentu saja pilihan  pendidikan seperti ini tidak terlepas dari kemampuan dan kemauan keluarga (baca: orang tua) yang memiliki wawasan global dan visi jauh ke depan. 

Dari atmosfer seperti ini jelas tergambar familiaritas petahana dan keluarganya atas Bahasa Inggris. Sayangnya, hanya karena libido politik, apapun menjadi komoditas untuk merendahkan dan mengail suara pemilu.

Bagaimana semestinya perihal Bahasa Inggris ini? Apakah hanya dikarenakan pengucapan (pronunciation) tidak layaknya penutur asli, lantas kita menyinyiri yang bersangkutan? 


Penulis jelas-jelas berseberangan dengan hal ini. Memaknai esensi suatu bahasa, pada hakekatnya memaknai bahasa sebagai alat penyampai pesan. Dengan kata lain ketika seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa, komunikasi tersebut akan dianggap berhasil ketika pesan tersampaikan dan dipahami tanpa distorsi oleh lawan bicara. 

Karenanya, dibandingkan komunikasi tulis, komunikasi lisan tatap muka memiliki banyak kemudahan dikarenakan tidak semata faktor bahasa yang membantu penyampaian pesan, tetapi juga intonasi, raut muka, gesture serta konteks komunikasi yang sedang berlangsung. 

Esensi ini pulalah yang kerapkali penulis sampaikan kepada peserta didik di ruang kelas dalam rangka mengikis fear, takut salah yang menjadi hambatan utama peserta didik, dan barangkali kita, ketika mempelajari bahasa asing. 

Ketakutan itu antara lain takut salah pengucapan, salah susunan kata, salah pemilihan kata dan berbagai ketakuatan lainnya yang berujung pada ketiadaan tindakan berbahasa. Apa penyebab ketakutan tersebut? Salah satunya adalah kenyinyiran. 

Dari berkali-kali dialog dengan para peserta didik, takut ditertawakan merupakan alasan utama mereka tidak mempraktekkan Bahasa Inggris. Terbukti bahwa budaya mengolok-olok, nyinyir, menertawakan berdampak serius bagi pengembangan kemampuan seseorang termasuk kemampuan berbahasa.

Bagaimana halnya dengan dialek atau logat berbahasa Inggris? Adakah logat yang benar-benar menjadi acuan akurat penggunaan Bahasa Inggris? Penulis sempat berinteraksi dengan beragam penutur Bahasa Inggris baik penutur asli maupun bukan. Pengalaman mengelana di negeri Paman Sam membuktikan apa yang dianggap sebagai aksen American English dari sisi pengucapan, senyatanya tidak ada batasan yang jelas. 

Negara dengan jumlah penutur asli Bahasa Inggris terbesar di dunia dikarenakan populasinya yang besar dan menjadi kiblat pembelajaran Bahasa Inggris  dikenal dengan kebijakan melting pot. Alhasil negara ini berisikan ragam warga negara dengan asal-usul dari berbagai belahan dunia sehingga menghasilkan aksen Bahasa Inggris yang beragam. 

Dengan keragaman aksen ini, apa yang dikenal sebagai American English tentu saja mengacu pada aksen Bahasa Inggris mereka dengan berbagai latar belakang -- Asia, Eropa, Afrika, Australia, penduduk asli Amerika, Amerika Latin dan yang lainnya.  Sama halnya dengan negara tetangga kita, Singapura, yang memberikan identitas penggunaan Bahasa Inggris mereka sebagai Singlish -- Singaporean English, tidak ada yang salah dengan konteks aksen lokal yang mempengaruhi penggunaan Bahasa Inggris tersebut.

Lantas, adakah ada korelasi antara kwalitas pribadi seseorang dengan cara yang bersangkutan bertutur kata dalam Bahasa Inggris? Penulis berpendapat kwalitas pribadi pengguna Bahasa Inggris tidak ditentukan oleh aksen, namun kwalitas pencapaian pribadi yang bersangkutan. Satu contoh kecil adalah Bunda Teresa, biarawati katolik yang menjadi salah satu ikon perdamaian. 

Sekalipun terjadi berpuluh tahun yang lalu, penulis masih sesekali memutar ulang pidato beliau pada saat penerimaan hadiah Nobel Perdamaian yang dituturkan dalam Bahasa Inggris. Dilahirkan di Albania dan menghabiskan hidupnya dalam karya kemanusiaan di India, penuturan Bahasa Inggris Bunda Teresa tentunya tidak bisa bersanding dengan Ratu Elisabeth. Namun tetap pidato beliau tetap berterima dan pesannya tentang pentingnya kehidupan keluarga sangat jelas tersampaikan. Dengan pengucapan Bahasa Inggris beliau, apakah kualitas Bunda Teresa jauh lebih rendah dari sang ratu? Tentu saja tidak.

Di era global ini, mengakui dan menghargai pembauran dan pencampuran beragam budaya sehingga menciptakan pendekatan-pendekatan budaya yang berbeda dari aslinya seperti halnya Bahasa Inggris, merupakan ungkapan kedewasaan seseorang yang tanggap zaman. Alhasil, mereka yang nyinyir dan alpa atas zaman ini mungkin perlu direorientasi dan ditantang untuk membuktikan kemampuan dirinya atas apa yang dinyinyirkannya. 

Menjadi tantangan kita sebenarnya, sebagaimana negara tetangga yang nyaman dengan identitas Singlish, mengapa tidak kita bangga dengan menggunakan beragam aksen nusantara ketika menggunakan Bahasa Inggris tanpa kuatir diolok-olok?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun