Cintailah produk dalam negeri!
seruan ini sering terdengar dalam kampanye pemerintah, baik melalui iklan, seminar, maupun kebijakan. Salah satu implementasi konkret dari seruan tersebut adalah penerapan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan pengaturan kuota impor di berbagai sektor industri. Semangatnya mulia: membangun industri nasional, menciptakan lapangan kerja lokal, dan mengurangi ketergantungan terhadap barang impor. Tapi mari kita jujur di lapangan, realitanya jauh lebih rumit.
 Antara Semangat dan Kenyataan
TKDN sering diposisikan sebagai senjata ampuh untuk melindungi industri dalam negeri. Namun, ketika TKDN dijadikan syarat administratif yang harus "dikejar" daripada tujuan yang tumbuh organik, maka ia berubah menjadi jebakan. Banyak pelaku industri akhirnya "mencari cara" untuk memenuhi angka TKDN, bukan karena komponen lokal memang unggul, tapi karena takut gagal lolos tender.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, ada praktik kreatif nan memprihatinkan: sertifikasi TKDN diperoleh, tapi produksinya tetap banyak bergantung pada komponen impor yang dikamuflasekan. Dengan kata lain, semangat nasionalisme kita sering berakhir sebagai simbolisme administratif bukan realitas ekonomi.
Kuota Impor: Antara Proteksi dan Kelangkaan
Di sisi lain, kuota impor dibuat untuk membatasi masuknya barang luar agar industri lokal bisa tumbuh. Tapi jika tidak dilakukan dengan hati-hati, kuota impor malah menciptakan kelangkaan buatan dan permainan rente. Banyak kasus di mana barang impor sulit masuk bukan karena kita sudah mampu produksi sendiri, tetapi karena kuota dikendalikan oleh segelintir pihak yang punya akses ke kekuasaan. Ujung-ujungnya? Harga naik, masyarakat jadi korban.
Ironisnya, kita membatasi impor atas nama kedaulatan ekonomi, tapi malah membuka celah monopoli dan oligopoli di dalam negeri.
TKDN vs Daya Saing: Kita Mau ke Mana?
Pertanyaan mendasarnya: apakah kita ingin benar-benar mandiri secara industri, atau hanya ingin terlihat mandiri? TKDN yang tinggi tapi tidak kompetitif akan membuat barang kita kalah bersaing, bahkan di dalam negeri sendiri. Sedangkan terlalu longgar dalam membuka impor bisa mematikan industri dalam negeri sebelum sempat tumbuh.