Dulu, manusia hidup dengan kelemahan sekaligus berkah: kita bisa lupa. Lupa adalah cara alami untuk menyembuhkan luka, memperbaiki citra diri, dan memberi ruang bagi versi baru dari diri kita sendiri. Namun, kini kita hidup di dunia digital yang tidak pernah lupa.
Semua orang pernah mengalami masa-masa 'alay' atau membuat kesalahan. Bedanya, dulu kebodohan masa lalu hanya menjadi cerita di antara teman. Kini, hal tersebut bisa muncul kembali dalam bentuk foto lama di media sosial, tweet dari tahun-tahun sebelumnya, atau komentar di forum yang tiba-tiba viral kembali.
Jejak yang Abadi, Manusia yang Bertumbuh
Teknologi memberikan kita kemampuan luar biasa untuk merekam dan mengarsipkan segalanya tetapi apakah kita siap untuk itu?
Di dunia nyata, seseorang bisa belajar dari kesalahan dan memperbaiki diri. Namun, di dunia digital, kesalahan itu bisa terus muncul di hasil pencarian Google, seolah-olah seseorang tidak pernah berubah, dan masa lalu menjadi identitas permanen.
Kalau manusia bisa berubah, mengapa internet tidak memberi kesempatan untuk itu?
Siapa yang Berhak untuk Melupakan?
Di Uni Eropa, terdapat konsep hukum bernama Right to Be Forgotten, hak individu untuk meminta penghapusan informasi pribadi dari internet, terutama jika data tersebut sudah tidak relevan. Konsep ini mendapatkan perhatian setelah putusan Pengadilan Eropa pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa mesin pencari dapat diwajibkan untuk menghapus tautan ke informasi pribadi yang berpotensi merugikan atau tidak relevan. (EBSCO, 2024)
Namun, di Indonesia, konsep ini masih belum menjadi bagian dari diskusi publik utama. Padahal, banyak orang terutama mereka yang pernah viral karena hal negatif membutuhkan ruang untuk memulai kembali tanpa bayang-bayang masa lalu digital.
Contoh kasus:
- Seorang siswa SMA dihujat karena video konyol di TikTok, dan jejaknya terus muncul bertahun-tahun kemudian.
- Seorang mantan narapidana yang ingin membuka usaha, tetapi orang-orang terus mencemooh karena artikel berita lama masih muncul saat namanya dicari.