Jika ada kelompok masyarakat yang termarjinalkan baik oleh sistem maupun alam, nelayan di Batam salah satunya.
Siklus musim angin utara terjadi di perairan Kepulauan Riau setahun sekali, dengan durasi 5 hingga 6 bulan. Penyebutan angin utara oleh masyarakat Kepri merujuk pada asal hembusan angin, dari Laut China Selatan (LCS).
Tidak hanya mengganggu jalur distribusi yang memicu fluktuasi harga kebutuhan pokok dan hortilkultura, angin utara juga membuat pendapatan nelayan turun, bahkan hingga titik nol.
Warga pulau kecil (hinterland) kebanyakan bergantung pada laut. Mereka mencukupi kebutuhan dengan mencari udang, kepiting, ikan dan rumput laut dari perairan sekitar.
Dengan perahu kecil dan alat tangkap sederhana, pendapatan yang diperoleh tiap harinya tidak terlalu memadai. Pendapatan itu kontras dengan harga kebutuhan yang merangkak naik, saat angin utara nelayan bahkan kadang harus kehilangan pendapatan.
Ombak lautan yang mencapai 2-3 meter di sekitar pulau, bahkan 7 meter di perairan lepas memaksa nelayan tidak turun melaut. Jika nekat, tidak satu atau dua peristiwa nelayan hilang bersama perahunya terjadi. Entah sudah berapa korban jiwa yang jatuh akibat nelayan melaut saat ombak kuat.
Kondisi tak lebih baik dialami oleh nelayan budidaya. Kendati mereka banyak yang membudidayakan ikan dengan keramba jaring apung, namun angin dari LCS membawa berbagai penyakit. Imbasnya, ikan terserang penyakit, mati, dan nelayan merugi.
30 menit dari pusat Kota Batam, di Pulau Akar misalnya. Warga pulau kecil itu kebanyakan adalah nelayan tradisional. Saat angin utara, mereka tidak turun melaut untuk mencari udang. Untuk bertahan hidup, mereka biasanya mengandalkan stok ikan di keramba.
Kerapu macan (Epinehelus fuscoguttatus) yang mereka budidayakan kerap diserang kutu laut. Jika sudah menyerang bagian insang, kutu laut sebesar biji jagung itu akan membunuh ikan yang merupakan harapan para nelayan saat musim paceklik. Jangankan dapat memanen untung, biaya bibit dan pakan saja kadang harus direlakan tidak kembali.
Kondisi itu terjadi tiap tahun, dan nelayan di Batam dibiarkan mengatasi masalahnya sendiri. Hingga kini, belum ada upaya serius pemerintah untuk menguatkan kapasitas dan keterampilan budidaya para nelayan. Mestinya, Batam memiliki jaring pengaman untuk kondisi tersebut, mengingat angin utara bukan baru sekali dua kali terjadi.
Pasalnya, dengan sebagian besar wilayah berupa perairan, Batam seperti melupakan laut. Kotras dengan daratan yang terus berkembang, masyarakat pesisir dan hinterland seperti semakin tertinggal saja. Satu dua perhatian memang ada, namun kadang sebatas penyaluran bantuan kepada kelompok nelayan saja.
Hingga kini, Batam tidak memiliki pelabuah perikanan dan tempat pelelangan. Harga ikan di tingkat pengecer cukup tinggi, namun harga jual di tingkat nelayan terhitung rendah. Hal itu disebabkan tata niaga ikan diserahkan seratus persen kepada mekanisme pasar.
Akibatnya, terjadi sistem ijon, di mana tengkulak atau lazim dipanggil tauke meminjami sejumlah uang kepada nelayan saat paceklik. Saat kembali melaut, posisi tawar nelayan rendah karena terlanjur berhutang.
Ambil contoh di Teluk Mata Ikan, saat nelayan kembali dari laut, mereka menghamparkan ikan di halaman rumah. Harga ikan di tempat itu jauh lebih murah dari harga ikan di Pasar Batubesar, Nongsa yang berjarak hanya 4 kilometer.
Dengan keuntungan minim dari penjualan ikan itu, harus mengeluarkan biaya hidup lebih besar dari warga kota. Indikatornya sederhana, harga kebutuhan pokok, gas, biaya listrik dan ongkos transportasi warga kepulauan selalu lebih tinggi.
Sementara di hinterlad, warga harus iuran untuk membeli minyak solar untuk menyalakan generator. Saat ini belum semua pulau berpenghuni teranjangkau jaringan listrik PLN. Listrik yang hanya menyala dari pukul 18.00 hingga 22.00 mereka harus iuran sebesar Rp75 ribu perbulan.
Selebihnya, mereka harus membeli sendiri genset dan mengisi bensin 3 hingga liter permalam. Jika dikalkulasi secara kasar, setidaknya warga hinterland harus merogoh kocek hingga Rp. 35 ribu lebih per-hari atau bisa setara dengan Rp1 juta lebih per-bulan.
Warga kepulauan tidak diuntungkan oleh sistem. Mereka dipaksa bergelut dengan ganasnya alam sepanjang tahun. Dengan pendapatan yang menurun, mereka harus memenuhi biaya hidup yang jauh lebih mahal dari warga di perkotaan.Â