Napasku terengah-engah. Lalu, “Winda, kamu selama ini nggak pernah sadar bahwa aku menginginkan hatimu sejak lama. Iya kan?? Kamu tuh selalu masa bodoh! Kamu nggak pernah tahu betapa aku udah berusaha membuktikan rasa cintaku ke kamu sampai detik ini dengan susah payah! Udah berkali-kali dan nggak bisa dihitung lagi berapa kali batinku tersiksa gara-gara sikapmu! Ngerti??!!”
Keadaan di antara kami semakin tegang. Ia terpaku, bisu, tak bergerak. Matanya nanar. Ia terpana mengalami apa yang tengah terjadi.
“Jadi...,” ucapnya.
Rasanya tak sabar kunantikan kalimat berikutnya meluncur dari mulutnya.
“Sampai sekarang perasaan itu masih kamu pelihara, Di?? Sampai sekarang??”
Ada rasa haru di wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Tampaknya air mata akan segera turun dari pelupuk matanya.
Aku tak sampai hati melihat paras indahnya menjadi demikian sedihnya. Emosiku turun perlahan. Aku tertunduk. Ah, Winda. Maafkan luapan kemarahanku. Aku tak seharusnya bersikap begitu padamu. Maafkan aku, Winda....
“Ya Allah... maafin aku, Ardi. Aku nggak nyangka kamu begitu serius sayang sama aku. Ya Allah... Ardi... selama ini aku nggak sadar udah nyiksa kamu... Maafin aku Di... maaf... maaf...,” Winda terisak-isak. Air matanya yang tumpah ruah coba diusapinya.
Aku menghela napas dalam-dalam. Aku jadi merasa bersalah pada perempuan ini. Bertahun-tahun kujaga sungguh-sungguh perasaannya, baru kali ini kugoreskan luka di hatinya. Ah, rasa berdosa menyusupiku perlahan dan pasti. Aku diam membisu. Beberapa saat kemudian baru aku kuasa bersuara.
“Udahlah, Winda. Buat apa sih, disesali. Toh, sebentar lagi aku bakalan pergi jauh. Mungkin kita ini memang bukan jodoh. Aku coba mengerti itu. Semuanya berlalu begitu saja. Pengorbananku selama ini memang harus kuakui masih kurang dan nggak ada artinya. Kita harus berpisah di sini, Winda,” kataku dengan suara lirih. Aku mencoba bijak.
Tapi sejenak kemudian ada keraguan dalam benakku. Jauh darinya dengan situasi buruk seperti ini membuatku ingin mengurungkan kepergianku.