Mohon tunggu...
Sigit Kusumanugraha
Sigit Kusumanugraha Mohon Tunggu... Dosen - Ex dosen film - videographer

Sigit adalah penulis yang sering memvisualisasikan tulisannya dalam bentuk karya kreatif seperti ilustrasi, komik, film, atau animasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Cocoklogy, Dilema Jurusan Film dan Kurikulum Kejar Tayang

12 April 2024   00:18 Diperbarui: 12 April 2024   00:36 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Tidak banyak orang yang mengetahui perbedaan antara 'Eksperimental film' dengan 'Video art', tapi hal ini menjadi fatal kalau yang tidak mengetahui perbedaan antara dua hal tersebut adalah akademisi fakultas seni rupa yang mengajar di penjurusan film.

Sebelumnya saya jelaskan dulu apa itu 'eksperimental film'. Eksperimental film adalah bentuk film yang sudah terlepas dari pakem atau template, dan di sini filmmaker-nya lebih eksploratif dalam berkarya dan mengekspresikan jiwa seni mereka. Sementara 'video art' adalah sebuah instalasi untuk pameran di galeri yang menggunakan medium video (tv, layar, projektor, dll).

Walaupun terdengar mirip, tapi 2 karya seni ini adalah 2 bentuk karya yang sangat berbeda. Yang satu adalah produk film untuk ditonton, sementara yang satu lagi adalah instalasi pameran untuk dirasakan sebagai sebuah experience. Akademisi yang terbiasa mengandalkan 'cocoklogy' akan menganggap 2 karya ini sebagai karya yang sama atau mirip, sehingga bisa salah memasukkan 'video art' ke dalam kurikulum Jurusan Film yang seharusnya fokus ke filmmaking, dan tidak melebar ke instalasi pameran.

Kejadian nyata ini terjadi di penjurusan film kampus swasta yang terletak di Bandung selatan. Kampus ini memiliki penjurusan film. Tapi begitu mahasiswa mendaftar dan berkuliah, tiba-tiba di semester akhir mereka dilarang untuk membuat karya film, dan malah disuruh untuk membuat video art. Alasannya? "Karena film itu jatahnya jurusan dkv" kata dosen-dosen yang mengajar di sana.

Padahal jika ingin membedakan antara film yang ada di Seni Rupa dengan di DKV (Desain Komunikasi Visual), sebetulnya mudah saja. Seni Rupa lebih fokus ke Eksperimental film, karena lebih mengeksplorasi sisi seni-nya, sementara DKV fokus ke film komersil untuk periklanan atau advertising. Tapi yang namanya kurikulum sudah pasti beririsan, apalagi jika masih satu fakultas.

Patut disayangkan begitu ada 'protes' dari DKV perihal "Mengapa di Seni Rupa ada film juga?", jurusan Seni Rupa tiba-tiba banting setir tanpa mempedulikan para mahasiswanya yang sudah berkuliah 3 tahun di sana untuk belajar film. 

Parahnya, mereka bahkan tidak banting setir ke 'Eksperimental film' (yang sebetulnya sejak 3 tahun lalu pun sudah diajarkan di sana), tapi mereka malah banting setir ke 'Video art', yang mereka pikir adalah sebuah karya film yang 'lebih nyeni'. Di sini lah mereka (para dosen) itu tertipu oleh istilah 'video art', dan terjebak oleh 'cocoklogy' yang selama ini sering mereka pakai dalam menyusun kurikulum kejar tayang.

Kembali lagi perlu dijelaskan bahwa video art bukanlah sebuah karya film yang 'nyeni', tapi video art adalah instalasi untuk pameran dengan medium video. Sebuah kesalahan besar dan fatal bagi para dosennya yang menyuruh mahasiswa film di jurusan film untuk membuat instalasi pameran. Sementara mereka ingin membuat film, dan bercita-cita menjadi filmmaker saat lulus nanti. Yang kena imbasnya di sini tidak hanya mahasiswa, tapi juga dosen film yang sudah mengajar film selama 3 tahun terakhir di jurusan tersebut.

Setelah dkv 'protes' ke seni rupa perihal film, dosen film tersebut tiba-tiba disalah-salahkan dan dituduh mengajar tidak sesuai kurikulum. Selain itu dosen tersebut juga dituduh mengakali nilai evaluasi dosen, karena nilai dosen tersebut dianggap tinggi. Bahwasanya kesesuaian antara kurikulum dengan materi ajar tercantum di salah satu aspek penilaian evaluasi dosen. 

Padahal selama 3 tahun ini, dosen tersebut menyusun materi ajarnya berdasarkan '3 Bentuk Film' (The Three Forms of Film), yaitu: Dokumenter, Film Fiksi, dan Eksperimental Film. Teori ini valid di dalam dan di luar negeri, dan juga merupakan teori basic dan sangat mendasar.

Namun sayangnya, begitu jurusan seni rupa banting setir, film dokumenter dan film fiksi langsung dilarang karena dianggap 'komersil'. "Di seni rupa tidak boleh komersil, harus murni seni" kalau menurut dosen-dosen seni rupa yang lain. Padahal dokumenter, film fiksi, dan eksperimental film punya nilai seni dan komersilnya masing-masing. Bahkan eksperimental film pun bisa jadi komersil jika diaplikasikan dalam bentuk MV(Music Video) yang dimana terdapat banyak elemen visual simbolik untuk merepresentasikan lirik lagu yang sedang dibawakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun