Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Toko Buku, Benarkah Kepunahan di Depan Mata?

26 Mei 2023   10:52 Diperbarui: 26 Mei 2023   11:09 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gambar Toko Buku : Dokumen Foto via Freepik.com

Benarkah minat baca masyarakat Indonesia rendah?

Saya kok kurang setuju dengan stigma ini.

Kenapa?

Ya, kita lihat saja bagaimana masyarakat kita justru memiliki minat baca yang tinggi dalam hal membaca berbagai informasi di dunia maya.

Berita-berita dan informasi lainnya dari berbagai media termasuk Medsos punya keterbacaan tinggi. Keterjualan buku secara online boleh dikata ramai. Bahkan, kita kerap kali menemukan kasus, bahwa hoaks pun turut dibaca hingga menjadi viral.

Enggak percaya kalau minat baca kita tinggi? Mau bukti?

Coba kita lihat fakta google trend Indonesia terkait keterbacaan suatu berita ataupun artikel, ternyata ditemukan jutaan pembaca dalam setiap harinya. Terus lihat bagaimana kinerja trafic e-book maupun trafic penjualan buku secara online, baik itu secara korporasi dan perorangan yang bisa dibilang baik.

Jadi, benarkah minat baca dan minat beli buku masyarat Indonesia rendah?

Kalau merujuk pada fakta yang sudah penulis uraikan di atas, maka penulis menyatakan bahwa tidaklah benar kalau minat baca dan minat beli buku dari masyarakat kita rendah.

Kalau yang dipersoalkan terkait minat beli buku secara offline yang rendah, nah kalau yang ini barulah bisa dinyatakan, iya. Tapi kalau bicara secara umum soal minat baca, ya enggaklah sebenarnya.

Nah, terkait minat beli buku ke toko buku inilah yang semestinya dicarikan solusinya dan strateginya, sebab hal inilah yang turut menyebabkan kolapsnya toko-toko buku.

Selain itu perlu juga perubahan strategi marketing dan solusi terkait pergerakan secara dinamis kemajuan digitalisasi dunia perbukuan yang kini kita tahu sendiri sudah banyak e-book dan sistem penjualan buku secara online yang semakin mendampaki eksistensi toko buku. 

Disamping itu perlu juga perubahan strategi dan solusi dalam bersaing terkait adanya peredaran buku bajakan yang juga turut andil mendampaki. 

Nah, kalau dijadikan satu semua faktor penyebab tersebut di atas dan tidak ada solusi dan strategi mengatasinya, maka tidak salah kalau satu persatu toko buku tutup alias kolaps enggak mampu bertahan.

Atau dalam artian, kalau toko buku hanya mengandalkan kebiasaan lama dalam menjual buku secara offline atau konvensional, ya bakal sulit bersaing dengan e-book, toko-toko buku online, termasuk perorangan yang menjual buku secara online, jadi ya enggak salah kalau toko buku yang sudah melegenda seperti Toko Gunung Agung pun akhirnya kolaps.

Ilustrasi Gambar Toko Buku Dan Pengunjungnya : Dokumen Foto via Freepik.com
Ilustrasi Gambar Toko Buku Dan Pengunjungnya : Dokumen Foto via Freepik.com

Jujur, di kota Penulis sendiri yaitu Balikpapan, penulis merasakan betul bagaimana toko buku semakin kekinian kian langka, kini toko buku di Balikpapan bisa dihitung dengan jari, bahkan untuk mencapai jumlah sepuluh pun tak sampai.

Padahal, dahulu toko buku menjamur, penulis masih ingat pada tahun 1994-an rajin banget baca buku dan rajin minta belikan buku komik ke toko buku. Pokoknya saat itu toko buku dimana-mana ramai.

Bahkan, saat mahasiswa di tahun 1997-an penulis ingat banget, kalau penulis pernah ikut menjualkan buku karya ayah penulis secara titip jual buku di berbagai toko buku di Balikpapan.

Serunya lagi saat itu, setiap ambil uang hasil titip jual buku karya ayah yang laris manis, penulis sering dapat bonus buku dari toko buku.

Tapi, seiring pergerakan zaman dan desakan digitalisasi dan disrupsi media, kondisi kekinian toko buku memang kian memprihatinkan, toko buku semakin sepi pembeli, karena minat beli buku secara offline semakin menurun drastis.

Jujur saja, mungkin sudah hampir belasan tahun penulis enggak pernah lagi ke toko buku lagi, bahkan hingga sekarang artikel ini penulis buat penulis enggak pernah lagi ke toko buku dan bisa jadi sebagian besar masyarakat pun kurang lebihnya berlaku sama, sepertinya sudah enggan ke toko buku, kecuali momentum tertentu misalnya, seperti saat tahun ajaran baru anak sekolah.

Karena apa, sebab faktanya kini kita sudah dimudahkan beli buku secara online atau juga adanya e-book, selain itu kita juga sudah dimanjakan internet dalam mengakses berbagai informasi yang kita butuhkan.

Akhirnya apa, toko buku pun kian terdesak, hingga akhirnya satu persatu jatuh bertumbangan menutup toko bukunya.

Jadi, sampai disini, benarkah kepunahan toko buku sudah di depan mata? Apakah toko buku sudah mengalami fase sandyakala?

Ya, bila merujuk pada fakta faktor penyebab yang sudah penulis uraikan sebelumnya, termasuk tutupnya Toko Buku Gunung Agung yang legendaris ini bisa jadi kebenaran pertanda bahwa kepunahan toko buku bisa dikatakan sudah di depan mata.

Dan tentunya hal ini sekaligus menjadi pengingat dan peringatan bagi toko buku lainnya yang masih berupaya bertahan.

Kalau mau bertahan dan tidak ingin bernasib sama dengan berbagai toko buku yang sudah tutup, maka startegi penjualan buku yang sekarang ini kurang berdaya saing haruslah dicarikan solusinya, dan inilah yang harus dipikirkan matang oleh pemilik toko buku atau stakeholder yang terkait.

Seperti solusi jual buku secara jemput bola misalnya, strategi jual antar misalnya, bikin even atau festival buku misalnya, atau strategi lainnya lah yang efektif, penulis yakin pasti para owner toko buku ini orang-orang hebat yang mampu berpikir kritis.

Yang jelas kalau toko buku hanya pasrah dan mengandalkan penjualan secara offline saja, serta tidak ada upaya lainnya, maka kepunahan bisa menjadi mutlak.  Bahkan, Toko Buku sekelas Gramedia pun kedepan bisa saja tutup.

Patut dicamkan, minat baca kita secara umumnya masih boleh dibilang tinggi. Oleh karenanya, daya saing toko buku haruslah bisa setidaknya mengimbangi dinamisnya pergerakan dunia digital, kalau enggak, siap-siap saja untuk punah.

Demikian artikel ini.

Artikel ke 115 tahun 2023.

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun