Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan "Bebek-bebek" Politik

27 Oktober 2020   02:16 Diperbarui: 27 Oktober 2020   07:38 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Presiden Jokowi | Dokumen Portalislam.id

Sejatinya tujuan politik bukanlah ajang berebut ataupun saling merengkuh dominasi kekuasaan saja.

Para politikus juga jangan bermental "pembebek politik" belaka: Berperilaku sebagai "para bebek-bebek politik" yang selalu berupaya menghalalkan segala cara hanya demi memuluskan ambisi kepentingan politiknya masing-masing, dalam rangka mewujudkan dominasi kekuasaan dan pengkultusan terhadap para tuan pemimpinnya.

Namun sayangnya, ternyata ruang-ruang politik di negeri ini justru menunjukkan gejala seperti di atas, ruang-ruang politik di negeri ini justru dibanjiri para politisi bermental "pembebek." 

Menempuh jalan politik hanya demi mewujudkan dominasi kekuasaan belaka, ikut sana ikut sini, mau saja digiring sana digiring sini, jilat sana jilat sini, tergantung mana yang kuat dan menguntungkan, mana yang bisa memberikan jatah, baik itu kedududukan ataupun kekuasaan.

Pihak yang menang dalam perebutan kekuasaan akan selalu berupaya menghalalkan segala cara demi melanggengkan kekuasaannya, dan selalu menekan pihak yang kalah dengan segala cara agar tidak merongrong kekuasaan yang menang.

Pihak yang kalah akan menumbalkan rakyat demi merongrong yang menang, padahal kepentingannya sama saja untuk merebut dominasi kekuasaan, bila pun nantinya menang akan berlaku sama saja karena semuanya hanya berlandaskan pada dominasi kekuasaan belaka.

Dan kondisi ini berlaku terus, karena orientasi politiknya bukanlah atas nama demokrasi, tapi atas nama kepentingan politik dan berebut dominasi kekuasaan.

Inilah kiranya mental politisi yang sebenarnya cenderung apatis pada etika politik, apatis pada politik kebangsaan dan pragmatis pada politik elektoral, tercokok hidungnya karena kepentingan dan selalu ikut kemana saja digiring sesuai komando para tuan pemimpinnya masing-masing demi merengkuh dominasi kekuasaan.

Sehingga yang terjadi adalah, dengan di bawah komando para tuan pemimpinnya masing-masing, karena sudah satu suara terhadap kepentingan politik, maka suatu ketika harus menempuh jalan berkoalisi justru jadi sarana untuk saling bersekongkol dan kongkalikong dalam rangka membangun dominasi kekuasaan di legislatif, eksekutif bahkan yudikatif yang pada akhirnya berujung pada menguatnya cengkeraman oligarki politik.

Bahkan, kemanapun digiring ataupun dikomando oleh para tuan pemimpinnya, terkhusus mereka para politisi yang pada akhirnya sudah kebagian jatah menduduki kursi kekuasaan di legislatif (DPR) yang berkoalisi pro pemerintah dan para politisi yang menduduki kursi kekuasaan di eksekutif (Pemerintahan) dari koalisi pro pemerintah akan selalu membebek sesuai kepentingan politiknya.

Sementara pihak yang minoritas, karena kepentingan politiknya tidak sejalan, akan semakin ditekan, dibatasi, dan dikebiri ruang geraknya, tak mampu berbuat banyak karena kalah kekuatan politik, sehingga satu-satunya jalan untuk bisa mengimbangi dominasi kekuasaan yang menang adalah menumbalkan rakyat.

Dan akan terus berlaku begitu, layaknya hukum rimba, siapa yang paling kuat, maka dialah yang akan paling dominan berkuasa, dengan hanya menjadikan rakyat sebagai obyek politik belaka sesuai kepentingan politik masing-masing.

Gejala membanjirnya perilaku pembebek politik inipun semakin nampak. Sebab ternyata, Presiden Jokowi juga semakin terhanyut larut, asyik masyhuk, dalam permainan kepentingan yang diciptakondisikan oleh para bebek-bebek politik yang bermental pembebek politik ini.

Seharusnya Presiden Jokowi, meski sebelumnya merupakan kader partai atau petugas partai, wajib tak lagi terlibat politik praktis, sudah harus menempuh jalan negarawan, tapi yang terjadi justru Presiden Jokowi masih saja terlibat dalam politik praktis, masih dibawah kendali partainya, ataupun masih disandera partainya.

Boleh ditengok bagaimana kenegarawanan Gus Dur ketika sudah jadi Presiden, mana mau beliau berpolitik praktis, tengok juga bagaimana kenegarawanan BJ. Habibi ketika sudah jadi presiden mana mau beliau cawe-cawe ke dalam politik praktis.

Dua figur inilah seharusnya yang jadi panutan Presiden Jokowi, namun nampaknya kalau di amati, Presiden Jokowi memang belum bisa lepas dari bayang-bayang politik praktis.

Artinya di sini, ketika Presiden Jokowi masih dibayangi rasa dalam diri sebagai petugas partai, justru yang terjadi beliau hanya dipakai sebagai alat politik belaka, yaitu untuk melegitimasi kepentingan politik praktis mereka yang telah mendominasi kekuasaan.

Apalagi Presiden Jokowi ke depan, pada tahun 2024 sudah dipastikan akan turun tahta, maka tak ada kata lain, yaitu dengan memanfaatkan sebaik-baiknya kekuasaan yang masih dipegang untuk melegitimasi kepentingan politik praktis demi tetap melanggengkan kekuasaan.

Parahnya lagi, pada perkembangannya, para politisi pembebek yang sudah menduduki legislatif (DPR) dan eksekutif (Pemerintahan) yang sudah dominan berkuasa ini, selalu menggunakan segala cara untuk membungkam ruang aspirasi publik, menekan lawan politik, menekan kelompok minoritas dan mengabaikan kepentingan rakyat demi melegitimasi kepentingan politik praktis dan melanggengkan kekuasaan.

Secara umumnya dalam hal ini, rakyatlah yang akan jadi tumbalnya, rakyat hanyalah dijadikan sebagai obyek desain politik, dikodefikasi dan digiring agar tetap berada dalam kontrol dan kendali penguasa dan para pembebeknya yang sudah mendominasi ruang kekuasaan, agar tidak menentang kekuasaan.

Penguasalah yang serba instruktif, penguasa bicara rakyat mendengar, penguasa memerintahkan rakyat harus mengerjakan, tanpa diperbolehkan bersuara dan membantah sedikitpun.

Ya, inilah kenyataannya, bahwasanya memang telah terjadi disorientasi demokrasi yang tragis dan menyedihkan di negeri ini, dan agaknya masih akan terus berkelanjutan entah sampai kapan.

Sangat menyedihkan lagi, para pihak penguasa seperti yang dijelaskan di atas, dengan bersama para pembebek yang mengiringinya dan termasuk juga di dalamnya para pembebek politik minoritas, diluaran panggung perseteruan politik, justru membuat suatu desain politik garis pemisah antara kaum Nasionalis dan kaum Agamis, seolah yang agamis tidak Nasionalis dan yang Nasionalis tidak agamis.

Bahkan, semakin terjadi penajaman garis pemisah di antara rakyat yang semakin dipertegas dengan adanya penyebutan Kaum Kadrun dan Kaum Cebong. 

Padahal sebenarnya kekuatan sejati rakyat Indonesia itu, muaranya adalah pada bersatunya kaum Nasionalis dan kaum Agamis.

Sejatinya dalam rangka rekonstruksi disorientasi demokrasi ini secara keseluruhan, maka langkah kenegarawananlah yang harusnya dilakukan untuk menyatukan seluruh potensi kekuatan rakyat bangsa ini.

Dan langkah itu sejatinya ada dipundak Pak Jokowi sebagai Presiden Kepala Pemerintahan yang juga berkedudukan dan berkewenangan sebagai Kepala Negara.

Kepala Negara yang selalu dapat menghadirkan negara dalam menterjemahkan dan melaksanakan mandat Bangsa dan Negara sebagaimana amanat Proklamasi Kemerdekaan 1945, Pancasila, dan UUD 1945.

Begitu halnya juga dengan para politisi, yang seyogianya bukan hanya sekedar bermain sebagai politisi saja, baik itu yang mendominasi kekuasaan sebagai mayoritas maupun yang minoritas bukannya semakin berperilaku sebagai pembebek kepentingannya.

Seyogianya lebih bijak bila para politisi ini tetap selalu menempuh jalan politik politisi negarawan, politisi yang selalu menjiwai dan menjunjung tinggi politik dalam artian yang sesungguhnya sebagai bentuk pengabdian kepada rakyat, karena rakyatlah menjadi kiblatnya dalam pengabdian politik.

Sehingga, selalu mengutamakan nilai demokratis, nilai perhatian dengan masalah sosial, nilai keagamaan hingga nilai anti diskriminasi, yang didalamnya terdapat norma atau sebuah kebiasaan yang mengatur sikap sopan dan santun serta bermartabat.

Karena bila politik itu tanpa memiliki jiwa dan hati nurani, maka politik akan menghalalkan segala cara, abai pada demokrasi yang demokratis, dan mengabaikan rakyat hanya atas nama kepentingan dan kekuasaan.

Ya, semoga saja ke depannya disorientasi demokrasi dan tatanan ruang politik di negeri ini dapat membaik dan kembali dijiwai dengan penjiwaan hati dan nurani, dengan menunjukkan bukti pada rakyat bahwa mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi negara dan bangsa.

"Politik sejati itu tak selalu identik dengan kekuasaan, karena kekuasaan hanyalah raga dari politik yang memiliki jiwa".

Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun