Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jangan Sampai Pemerintahan Jokowi Jadi Otoriter, Sebab...

19 Oktober 2020   20:02 Diperbarui: 21 Oktober 2020   10:37 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar Presiden Jokowi didampingi Nenko Marves RI Luhut BP | Dokumen Foto milik Yudhi M/Antara via Republika.co.id

Gejala-gejala ketika pemerintahan sudah mengarah untuk berlaku sebagai penafsir tunggal dan memonopoli kebenaran di ruang publik nampaknya mulai sering terjadi di pemerintahan Jokowi.

Salah satunya gejala ini bisa dilihat, bagaimana lontaran pernyataan keras dari seorang Menkominfo RI, Johnny G. Plate, saat dialog menyoal UU Omnibus Law Cipta Kerja di program acara Mata Najwa.

"Kalau pemerintah bilang itu hoaks versi pemerintah, ya, berarti hoaks. Kenapa membantah lagi!"

Ya, begitulah sebuah lontaran atas pesan keras dari seorang Menkominfo RI, Johnny G. Plate.

Penulis langsung terhenyak seketika dan kaget, hanya segitu sajakah kualitas seorang Johnny G. Plate, seorang pejabat Menteri Komunikasi dan Informasi yang harusnya selalu mengedepankan manajemen komunikasi dan seharusnya sangat paham dan menguasai konsep dan teori komunikasi, serta suasana sosial politik yang etis dan beretika dalam berdialektika di ruang publik.

Dan ini masih salah satunya saja, karena kalau melihat tren yang berlaku selama periode pemerintahan Jokowi ini, ternyata komunikasi para pejabat Menteri dan setingkatnya di pemerintahan takjauh beda dengan apa yang diperagakan oleh Menkominfo RI.

Simak saja bagaimana pernyataan yang sering terlontar dari Menkopolhukam RI, Mahfud MD, Menko Perekonomian RI, Airlangga, Menko Marves RI, Luhut BP dan lainnya, bahkan Presiden Jokowi juga termasuk juga di dalamnya.

Ya, semuanya bisa dilihat dari rekam jejak digital di berbagai media online, elektronik dan cetak, bagaimana pernyataan, Presiden Jokowi, para pejabat Menteri dan setingkatnya mulai dari persoalan masuknya Covid-19, penanganan Covid-19, hingga teranyar UU Omnibus Law Cipta Kerja dan sebagainya.

Secara umumnya, apa yang jadi rilis, statemen ataupun pernyataan dari pemerintah selalu menafsirkan kebenaran versi pemerintah dan tidak dapat dibantah.

Sehingga jadi merupakan gambaran yang cukup nyata, bahwa pemerintah sudah sebagai penafsir tunggal dan memonopoli kebenaran di ruang publik hanyalah milik pemerintah.

Artinya di sini, hanya pernyataan pemerintah saja yang benar, yang lainnya tidak benar, kalau ada yang berbeda tidak sejalan dengan pemerintah maka itu tidak benar, tidak ada yang boleh membantah pernyataan dari pemerintah.

Tentu saja hal seperti ini tidaklah sejalan dengan ruang demokrasi publik yang mengedepankan kesetaraan komunikasi pada semua konteks sosial.

Padahal bila merujuk pada prinsip-prinsip demokrasi Pancasila di Indonesia, maka pemerintah senantiasa selalu bersama-sama dengan rakyat, berdialog dan berdialektika dengan kesetaraan menuju suasana komunikasi yang saling memahami.

Apakah ini pertanda kalau pemerintahan Jokowi sudah mulai ada gejala otoriter?

Pemerintahan otoriter adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada seorang pemimpin ataupun berkiblat kepada para pemimpinnya.

Mereka tidak dibatasi dengan aturan hukum dan membuat kebijakan di negara sesuai kehendak kepentingan pemerintahan dan jajarannya sendiri, bahkan termasuk kepentingan politik praktis.

Bentuk pemerintahan yang ditandai oleh kekuatan pusat yang kuat terstruktur dan sistematis serta kebebasan politik yang terbatas, termasuk tidak ada aturan konstitusi (undang-undang dasar) yang secara efektif membatasi dan mengatur para pemimpin negara.

Otoritarian hanya mengenal satu macam komunikasi, yaitu komunikasi satu arah, meskipun terkadang ada juga berlangsung komunikasi dua arah.

Tapi, komunikasi dua arah yang dilakukan seperti saling diskusi dan menanggapi, perbedaan dan pertentangan pendapat secara verbal atau secara konseptual, hanya akan dimengerti atau diketahui saja, sulit untuk dihayati dan diterima, komunikasi yang bebas dan terbuka berasal dari berbagai arah akan selalu dibantah.

Dalam bertindak mengutamakan karena memiliki kekuasaaan, maksudnya di sini adalah dengan pemaksaan kekuasaaan untuk membungkam yang tak sejalan, bahkan sampai menggunakan ancaman.

Kesemuanya dilakukan dengan menggunakan segala sumber daya yang dimiliki negara, baik itu aparat dan perangkat pemerintahan lainnya.

Ya, kalau merujuk penjabaran soal Otoriter yang penulis rangkum dari berbagai sumber ini, maka bisa dikatakan pemerintahan Jokowi sudah termasuk ada gejala ke arah Otoriter.

Sebenarnya masih ada beberapa hal lainnya lagi yang menggambarkan bagaimana suatu pemerintah itu adalah Otoriter.

Namun sesuai tren yang berlaku selama periode pemerintahan Jokowi, maka beberapa hal yang penulis ulas di ataslah yang paling menguat berlaku, oleh sebab itu inilah kiranya kenapa penulis menganalisanya sebagai gejala.

Kenapa bisa terjadi?

Memang penyebabnya sangatlah kompleks, seperti di antaranya adalah, komposisi kursi legislatif di DPR yang lebih didominasi partai pendukung pemerintah, dan inipun berlaku juga hingga DPRD Tk. I dan II, sementara partai oposisi (di luar pemerintahan) sangat minim.

Pemerintahan atau eksekutif lebih banyak diisi oleh orang-orang dari partai pemenang Pemilu dan partai lainnya yang berkoalisi untuk mendukung pemerintah sedangkan dari partai Oposisi (di luar pemerintahan) tidak ada sama sekali yang duduk di pemerintahan, termasuk juga diranah yudikatif didominasi dari mantan ataupun jebolan kader partai dan orang orang dari pemerintahan, sehingga menyebabkan fungsi check and balance terhadap pemerintah hampir tidak berfungsi.

Alhasil, dengan begitu mudahnya berbagai program dan kebijakan pemerintah, bahkan Undang-undang yang diproduksi, baik itu oleh DPR dan dari usulan Presiden, maupun dari pemerintahan, melenggang mulus begitu saja.

Bahkan setelahnya, bila ada yang tidak sejalan, menentang dan mengkritik, maka pemerintah takakan segan menggunakan tekanan kekuasaan agar tidak ada yang menentang dan membantah pemerintah dengan menggerakan perangkat pemerintah maupun aparat pertahanan dan keamanan yaitu TNI dan Polri.

Apakah dampak yang terjadi?

Dampak yang terjadi adalah adanya gerakan-gerakan sipil yang perlahan demi perlahan bertumbuhkembang, sporadis bahkan masif, seperti demonstrasi massa, people power dan sejenisnya yang bahkan seringkali ditunggangi dengan cipta kondisi.

Cipta kondisi di sini maksudnya adalah, memanfaatkan keadaan untuk menciptakan suasana chaos, yang kedepannya bila terus berlangsung dapat saja menimbulkan sebuah kudeta ataupun makar.

Nah, tentu saja kudeta ataupun makar inilah yang sangat berbahaya dan sangat tidak diinginkan, karena pasti akan menimbulkan korban jiwa dari rakyat.

Pemanfaatan cipta kondisi yang menunggangi berbagai gerakan sipil bisa berubah jadi kudeta ataupun makar berlaku sesuai kepentingan dari para aktor intelektual di balik layar, dan bila boleh diprediksilan, maka yang mungkin akan diciptakan adalah kondisi-kondisi seperti dibawah ini.

Ilustrasi gambar Aksi Demonstrasi Mahasiswa | Dokumen diambil dari rekan penulis di Facebook Benkz Evano
Ilustrasi gambar Aksi Demonstrasi Mahasiswa | Dokumen diambil dari rekan penulis di Facebook Benkz Evano
A. Cipta Kondisi yang pertama yaitu, menunggangi gerakan mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya, baik itu buruh dan profesi lainnya.

Dengan target benturan dengan pemerintah dan aparat, lalu terjadi chaos, kemudian menggiring opini dengan target, mengarahkan tuduhan pelaku kepada para barisan oposisi dan parpol diluar pemerintahan sebagai aktor intelektual.

Termasuk mengarahkan tuduhan kepada Ormas berbasis agama dan Ormas lainnya yang berseberangan dan kentara menentang pemerintah, saling terkait yang dituding terlibat yaitu, jaringan teroris.

B. Cipta kondisi yang kedua yaitu, menunggangi gerakan Ormas berbasis agama, dan Ormas lainnya dengan target, benturan dengan pemerintah dan aparat, lalu terjadi chaos, menggiring opini dengan target tuduhan makar.

Termasuk mengarahkan tuduhan kepada para barisan oposisi diluar pemerintahan dan parpol diluar pemerintahan dan Ormas agama serta Ormas yang berseberangan dengan pemerintah sebagai aktor intelektual, saling terkait yang dituding turut terlibat yaitu, jaringan teroris.

C. Cipta kondisi yang ketiga adalah menunggangi gabungan gerakan sipil dari A dan B, dengan target, benturan dengan pemerintah dan aparat lalu chaos, menggiring opini dengan dalih people power, mengarahkan tuduhan kepada para barisan oposisi di luar pemerintahan dan parpol diluar pemerintahan sebagai aktor intelektual, saling terkait yang dituding terlibat yaitu Ormas agama dan Ormas yang berseberangan dengan pemerintah, afiliasi yang terlibat termasuk jaringan teroris.

Kemudian, sesuai cipta kondisi di atas, dan juga bukannya sebagai tuduhan atau tudingan, maka bisa dimungkinkan ketiga cipta kondisi di atas adalah target dan tujuan yang diinginkan oleh para aktor intelektual yang bermain peran dibalik layar sebagai berikut;

1. Aktor intelektual dari lingkaran dalam pemerintahan yang secara diam-diam menyelinap menjadi oposisi pemerintahan, termasuk menyelinap di dalam legislatif yang secara diam-diam menyelinap menjadi oposisi, termasuk juga para aktor intelektaul yang menyelinap di antara para oposisi yang nyata sebagai oposisi/minoritas di legislatif.

Mereka semua akan bergerak dengan senyap, karena risikonya bila gegabah bergerak akan mudah terdeteksi, maka mereka ini pasti akan sangat bertindak sangat hati-hati sekali dalam memanfaatkan situasi cipta kondisi.

2. Aktor intelektual dari lingkaran dalam pemerintah itu sendiri tapi bukan dari oposisi ataupun yang secara diam-diam jadi oposisi, mereka punya kepentingan sendiri (Gerakannya sangat senyap) sangat sulit terdeteksi, sebab menginflitrasi kedalam seluruh sendi pemerintahan.

3. Aktor intelektual dari lingkaran mantan barisan lawan-lawan politik pemerintahan yang dirangkul kedalam pemerintahan, yang pastinya bergerak sangat senyap.

4. Aktor intelektual dari lingkaran tanpa bentuk diluar oposisi dan pemerintahan, karena kepentingannya terganggu oleh pemerintah, mereka bergerak lebih senyap lagi.

5. Aktor intelektual dari jaringan teroris (penunggang) sesuai kepentingannya, misal hanya untuk mengacau, merongrong, atau bahkan lebih, yaitu menghancurkan.

Kemudian juga bisa dimungkinkan ada pihak negara asing yang turut andil, membackup kelima para aktor intelektual masing-masing di atas sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Yang paling berbahaya sebenarnya adalah yang nomor 2 dan 4, karena kemungkinan kalau cipta kondisi berhasil terjadi sesuai yang ditargetkan, maka merekalah yang akan paling gampang mengambil keuntungan dapat mengambil alih (kudeta) pemerintahan secara tersamar.

Cipta kondisi, dilakukan dalam rangka pecah konsentrasi, kontijensi, insurjensi, chaos dan sejenisnya, kemudian karena pemerintah fokus untuk mengatasi 3 cipta kondisi sebelumnya di atas lalu akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para aktor intelektual di balik layar.

Kalau pemerintah gagal mengatasinya atau cipta kondisi berhasil menciptakan chaos, maka para aktor intelektual yang melancarkan misinya masing-masing bisa akan sangat mudah mengeksekusi tujuannya.

Kalau pemerintah berhasil mengatasi chaos, mereka yang nomor 2 dan 4 akan sangat mudah lolos ataupun selamat dari tudingan kudeta ataupun makar, nomor 1 dan 3 perlu cukup bukti untuk membuktikan kudeta ataupun makar, sedangkan yang nomor 5 pasti akan selalu dikaitkan dengan chaos, kudeta ataupun makar.

"Dalam setiap gerakan sipil, A dan B, serta gabungan gerakan sipil A dan B sangat sulit menentukan kemurnian gerakan sipil, karena pasti akan seringkali ditunggangi".

Sehingga di sinilah kiranya peluang cipta kondisi adalah sesuai kepentingan masing-masing dari para aktor intelektual di balik layar.

Perlu diingat juga, bahwa catatan sejarah membuktikan, bagaimana gerakan sipil ataupun people power dapat  menggulingkan Presiden Soeharto dan akhirnya menumbangkan pemerintahan Rezim Orba dan ada peran para aktor intelektual di balik layar.

Sehingga, seperti yang dijelaskan pada analisa sebelumnya, sesuai perjalananya, pemerintahan Jokowi sudah menunjukan gejala otoriter, sekali lagi bukan otoriter tetapi gejala otoriter, oleh sebab itu kalau pemerintahan Jokowi tidak segera mengevaluasi dan memperbaiki ruang demokrasi publik, dan gejala otoriter terus berlangsung semakin kuat, maka hal ini bisa sangat rawan dan berpotensi mengguncang pemerintahan Jokowi, karena bisa akan terus terjadi gerakan-gerakan sipil yang ditunggangi oleh para aktor intekektual.

Harapan dan Doa.

Yang jelas, doa dan harapannya adalah jangan sampai terjadi, ketika pada akhirnya pemerintahan Jokowi benar-benar jadi Otoriter, benar-benar jadi rezim yang meninggalkan legacy buruk sebagai rezim otoriter di Indonesia.

Semoga saja tidak, semoga saja pemerintahan Jokowi tetap menjunjung tinggi ruang demokrasi publik, selalu menciptakan suasana check and balancing, selalu amanah pada rakyat dan selalu teguh mengemban amanah Pancasila dan UUD 1945 demi selalu tegak dan utuhnya NKRI yang kita cintai bersama ini.

***

Catatan:

Artikel ini adalah analisa receh belaka dan dituangkan dalam rangka niat tulus sebagai timbang saran dan saling mengingatkan, bersifat konstruktif demi kebaikan.

Referensi :

Membaca dari Wikipedia, Tirto, Tempo dan Kompas, termasuk referensi berdasar keterbatasan secuil keilmuan yang pernah diperoleh berdasar bidang pekerjaan penulis.

Mohon maaf bila kiranya masih banyak kekhilafan dan kekurangan pada artikel ini.

Semoga bermanfaat.
Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun