Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jaksa Pinangki, Kasus Djoko Tjandra dan Fenomena "Jabatan Basah"

13 Agustus 2020   09:25 Diperbarui: 13 Agustus 2020   09:32 7133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen foto via Tribunnews.com

Ditangkapnya Djoko Tjandra tersangka kasus cessie bank Bali, yang sekaligus mengakhiri 11 tahun pelariannya tersebut, ternyata perlahan demi perlahan turut menguak juga beberapa pihak yang terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya sepandai-pandai menyimpan aroma bangkai yang semakin membusuk, seiring dengan proses pengembangan kasus dari Djoko Tjandra, satu persatu orang-orang internal kepolisian, kejaksaan, dan bahkan dari kalangan sipil lainnya berhasil dicokok dan diringkus.

Bahkan kasus ini, sangat tidak main-main, karena orang-orang yang terlibat dalam pusaran kasus tersebut ada yang menduduki posisi jabatan penting dan strategis berkaitan dengan birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum.

Yang artinya disini, mereka yang terlibat dalam pusaran kasus tersebut, sangat bertanggung jawab terhadap kinerja birokrasi pemerintahan dan kinerja hukum.

Aparatur Negara yang seharusnya memiliki integritas dan menjunjung tinggi profesionalitas dalam mengemban amanah jabatannya tersebut, justru menyalahgunakan wewenangnya.

Sehingga kalau boleh diistilahkan, terkait dengan mereka yang terlibat dalam pusaran kasus Djoko Tjandra ini, maka stigma "jabatan basah" masih menjadi modus bagi oknum-oknum tertentu yang menduduki jabatan penting dan strategis tersebut untuk mencari "cuan" ataupun "ceperan",  dan menjadi ladang penghasilan tambahan haram yang dihalalkan oleh mereka.

Jabatan basah tersebut justru jadi legitimasi bagi keabsolutan kekuasaan mereka untuk melegalkan praktik-praktik penyalahgunaan wewenang dari jabatan yang mereka emban.

Tak pelak lagi, karena jabatan basah inilah yang membuat orang-orang saling berebut, saling sikut, hingga menghalalkan berbagai cara demi mendapat tempat, menduduki jabatan basah tersebut.

Seperti halnya bila berkaitan dengan terungkapnya peran Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang pada akhirnya turut diproses dalam pusaran kasus Djoko Tjandra.

Ya, seperti yang telah diberitakan, pada akhirnya Jaksa Pinangki secara resmi harus ditahan, karena diduga terlibat dalam konspirasi pelarian buronan negara Djoko Tjandra.

Betapa jelas disini, bagaimana Jaksa Pinangki memanfaatkan dengan cara liciknya terkait jabatan basahnya tersebut, dengan segala cara dilakukannya untuk memperkaya diri.

Entah apa juga yang melatarbelakanginya, padahal kalau dilihat dari penghasilan yang diberikan oleh negara sesuai jabatannya tersebut, sebenarnya sudah sangat lebih dari cukup.

Yah bisa jadi karena gaya hidup mewah, pergaulan sosialita, dan entahlah apa, yang pasti untuk ukuran penghasilan Jaksa Pinangki sesuai jabatannya tersebut sangatlah cukup untuk bertahan hidup dalam kesehariannya.

Jelas saja, bila dihadapkan dengan fakta dan realita yang terjadi ini, maka semakin terlihat dengan mata kepala di hadapan publik, bahwa memang benar adanya, bahwa memang ada terjadi ketidakberesan terkait kinerja hukum yang berlaku di negeri ini, bagaimana tercorengnya harga diri hukum, akibat ulah dan permainan laknat oknum-oknum bejat yang tidak bertanggung jawab tersebut.

Stigma bahwa "hukum bisa dibeli" dan "aparat hukum bisa dibeli", terpampang nyata sekaligus menjadi fakta yang tak terbantahkan dalam pusaran kasus Djoko Tjandra ini.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, pusaran kasus Djoko Tjandra tersebut, bisa saja akan turut menyeret keterlibatan oknum-oknum aparatur negara yang lainnya ataupun juga oknum sipil yang lainnya.


Ya, memang sungguh sangat ironi, miris dan sangat memprihatinkan, karena publik dipertontonkan kebobrokan-kebobrokan berkaitan dengan kinerja hukum di negeri ini.

Bagaimana publik bisa percaya dengan kinerja hukum, dan menghargai hukum di negeri ini, kalau aparatur penegaknya, ataupun orang-orang yang berkompeten didalamnya, ada yang menjadi para bajingan tengik, para penjahat laknat pengkhianat bangsa dan negara ini.

Sehingga, inilah kiranya yang perlu jadi catatan penting bagi pemerintah, agar kiranya menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan evaluasi yang lebih mendalam bagi kedepannya, apalagi juga bila berkaitan dengan reformasi birokrasi.


Bagaimana pemerintah harus bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap kinerja hukum di negeri ini, termasuk juga dalam kaitanya dengan pelaksanaan program reformasi birokrasi.

Dan artinya juga disini, bila berkaitan dengan ranah ruang reformasi birokrasi, maka hal ini sangat perlu menjadi catatan penting bagi Kemen PAN-RB.

Terkait bagaimana meneliti dan menilai, mutu dan kualitas, kelayakan dan kepantasan seluruh orang-orang yang akan ditempatkan menduduki posisi jabatan eselon di pemerintahan, baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Dan secara khususnya apabila posisi jabatan-jabatan eselon yang akan dijabat tersebut adalah termasuk dalam klasifikasi jabatan penting dan strategis.

Jadi secara umumnya, bila berlatar belakang dari kasus Djoko Tjandra ini, maka pemerintah harus melakukan "bersih-bersih" total di instansi Kepolisian, Kejaksaan, dan juga mengevaluasi kinerja instansi lainnya.

Jangan tebang pilih dan harus menegakan serta menuntaskan berbagai kasus hukum yang melibatkan oknum pejabat negara yang masih membanjir di negeri ini secara terbuka dan transparan, jangan sampai ada yang ditutup-tutupi, ataupun disembunyikan dari mata publik.

Termasuk juga dalam pusaran kasus Djoko Tjandra, bila memang ada keterlibatan oknum yang lainnya dalam pusaran kasus Djoko Tjandra, maka harus dicari, dibekuk dan dijebloskan dalam penjara, karena tidak menutup kemungkinan ada keterlibatan oknum lainnya dalam pusaran kasus Djoko Tjandra ini.

Pemerintah harus bisa menghilangkan stigma dan label hukum yang masih berlaku di mata publik, berkaitan dengan bahwa hukum bisa dibeli dan aparat hukum bisa dibeli.

Oleh karenanya, eksistensi citra dan harga diri hukum di mata publik harus dijunjung tinggi, kepercayaan publik terhadap hukum harus tetap konsisten dan terjaga, serta kinerja hukum harus membaik, agar publik tidak memandang rendah bagaimana hukum yang berlaku di NKRI yang kita cintai bersama ini.

Demikianlah, artikel ini penulis tuangkan, semoga kiranya dapat bermanfaat dan mohon maaf bila kiranya masih banyak kekhilafan.


Salam hangat.
Sigit Eka Pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun