Perkembangan lagu khas daerah yang juga merupakan salah satu jati diri ke Bhinekaan Tunggal Ika dan warisan kekayaan budaya bangsa Indonesia secara faktual memang sedang mengalami stagnasi.
Saat ini lagu baru daerah yang berciri khaskan kedaerahan sangat minim sekali ditemukan. Lagu lagu berciri khas daerah yang ada masih seputar lagu lagu lawas yang itu itu saja. Regenarasi lagu berciri khas daerah seolah lumpuh dan semakin hilang ditelan zaman.
Kok Lumpuh kenapa bisa dikatakan begitu, padahal lagu lagu daerah saat ini masih banyak tercipta dan banyak yang mendendangkannya?
Oleh karena itu mengenai perihal lagu daerah harus melihat lagi sudut pandangnya dahulu, apakah lagu daerah yang berbahasa daerah saja ataukah lagu daerah yang berbahasa daerah tapi berciri khas budaya daerah.
Maka kalau melihat dari sisi lagu berbahasa daerah saja memang masih banyak bertaburan, sebut saja lagu bojo loro, iwak peyek, stasiun balapan (ketiganya lagu jawa), Karindangan(Banjarmasin), Janjimu Taroe(Bugis), Sai Anju Mau(Batak), Polo Pakita(Menado) dan banyak lagi lagu yang berbahasa daerah yang boleh juga dikata ini masuk ranah lagu daerah.
Namun kalau dilihat dari genrenya, lagu lagu daerah tersebut diatas tidak bisa di samakan dan di kategorikan menjadi lagu khas daerah, karena dirasakan sangat berbeda sekali dalam hal filosofis dan makna serta kekuatan karakter budaya yang terkandung didalamnya.
Sehingga kalau melihat sisi lagu daerah yang berbahasa daerah tapi berciri khaskan budaya daerah seperti lagu gambang suling, bubuy bulan, ampar ampar pisang, yamko rambe atau lagu Maumere, sudah sangat minim sekali ditemukan sekarang ini.
Nah Coba rasakan maknanya dan filosofisnya serta kekuatan karakter antara dua cuplikan lagu daerah berikut ini yaitu lagu stasiun balapan dan gambang suling,
Ning stasiun balapan
Kuto solo sing dadi kenangan
Kowe karo aku
Naliko ngeterke lungamu
Ning stasiun balapan
Rasane koyo wong kelangan
Kowe ninggal aku
Ra kroso netes eluh ning pipiku
-----