Yang membuat saya takjub adalah lapangan yang dikelilingi tribun tempat duduk melingkar dan berbaris landai tempat mereka bermain. Ribuan orang duduk di sana menyaksikan pertandingan sepak bola. Tempat yang disebut stadion. Ternyata sepak bola mempunyai tempat sendiri. Bukan di halaman, bukan di jalan, tapi di stadion.
Saya kemudian mendengar orang-orang menyebut Piala Dunia. Ternyata sepak bola juga dimainkan oleh negara-negara lain dan membuat saya akhirnya tahu bahwa sepak bola bukan permainan kakak-kakak sepermainan saya saja, tapi permainan manusia sedunia. Sampai kemudian nama Maradona muncul menjadi ikon pembicaraan kakak-kakak saya yang dewasa.
Maradona? Saya menemukan sosoknya di sampul buku tulis baru. Memakai celana pendek hitam dan kaos putih bergaris vertikal biru langit sedang berlari mengejar bola. Ada tulisan Mexico 86, dan gambar trofi piala dunia yang bentuknya aneh menurut saya, karena piala yang sering saya lihat diberikan Pak Camat pada juara lomba tarik tambang tujuh belasan, bentuknya identik dengan piala untuk lomba bayi sehat. Tapi bentuk Piala Dunia sangat berbeda.
Semakin hari saya semakin tahu bahwa sepak bola yang sederhana itu tidak sederhana. Ternyata bukan sebuah kampung atau RT saja yang membuat tim sepak bola dan bertanding dengan kampung atau RT lain, tapi kota besar juga mempunyai tim sepak bola dengan pemain pilihan untuk bertanding melawan tim kota lain, hingga negara punya tim sepak bola untuk melawan tim negara lain.
Semakin saya besar dan mengerti saya semakin menyadari jika sepak bola bukan permainan (lagi) sederhana bahkan jauh sebelum saya lahir. Piala Dunia pertama sudah berlangsung sejak 46 tahun sebelum saya lahir. Bahkan liga-liga Eropa sudah dimulai lebih lama lagi.
Stadion adalah tempat untuk membuat permainan sepak bola lebih agung dan bisa menjadi bisnis. Sekarang sepak bola bukan sekedar bisnis lagi, tapi industri. Sepak bola layaknya produk yang seseorang harus membayarnya jika ingin mengkonsumsi.
Keseruan sepak bola di lapangan bermuatan banyak hal. Persaingan, prestasi, harga diri, menunjukkan jati diri, menunjukkan kelas, adu strategi, dominasi, dan lain-lain. Semua itu dikelola untuk tujuan membangun industri, dikemas menjadi menarik sehingga stadion selalu penuh sesak meski harga tiketnya mencekik. Segala pernak-pernik berbau sepak bola dipropagandakan dengan iklan untuk melipatgandakan pendapatan dari sepak bola.
Sepak bola yang sudah menjadi produk industri pun lantas menjadi mahal bagi penonton tayangan langsung di televisi. Harga hak siar yang semakin hari melambung kian tinggi membuat televisi harus berpikir bagaimana mengemas sepak bola menjadi tayangan yang semua orang merasa ‘wajib’ menonton, sehingga mereka tak keberatan ‘membayar’ layaknya penonton yang datang langsung ke stadion dengan cara berlangganan tv kabel.
Sepak bola yang sudah menjadi produk industri yang menjelma sebagai hiburan mahal. Tapi tetap mampu membuat orang rela membayar untuk bisa menyaksikannya, karena sebagai produk industri, sepak bola telah dikemas menjadi sedemikian menarik, menggiurkan, dan membuat ketagihan.
Simbol harga diri
Sepak bola juga sudah menjadi simbol harga diri suatu klub, dari kelas kampung nan amatir sampai profesional, bahkan harga diri suatu bangsa. Berapa kali klub menjuarai suatu liga atau turnamen menjadi kekuatan untuk menepuk dada. Bahkan untuk klub kecil berkompetisi di kasta teratas juga bisa membuat mereka bangga.