"Lebih asyik menjadi perintis" atau "McLaren-mu warna apa, bos?", dua frasa khas yang ikonik dari influenser Ryu Kintaro dan Timothy Ronald. Fenomena orang "pintar" dengan banyak pengikutnya kian santer terdengar, terlepas kontroversinya. Misalnya, Youtuber Timothy Ronald yang terkenal dengan Akademi Crypto-nya dan kini tengah viral karena menyebut "Gym aktivitas paling goblok". Selain itu, ada Ferry Irwandi dan Guru Gembul (nama panggung) yang terkenal karena konten-konten kritisnya.
Satu sisi, kehadiran para influenser menunjukan "membaiknya" ekosistem demokratisasi Indonesia. Bahkan, tidak jarang para influenser menyuarakan aspirasi dari pihak yang kurang terdengar. Pada sisi lain, kerap terjadinya pengkultusan hingga menganggapnya sebagai "sumber kebenaran" yang tidak terbantahkan. Tidak jarang, pengkultusan itu melahirkan para fanatik yang tidak segan menghakimi siapapun yang berani kotradiksi dengan idolanya, seperti yang terjadi pada banyak akun yang mengkritik konten Gubenur Jawa Barat Kang Dedi Mulyadi (KDM). Melihat kondisi ini, apakah kehadiran influenser positif ataukah pengikutnya yang cenderung berbahaya dan brutal?
Penjelmaan Kaum Sofis
Sedikit penjelasan mengenai kaum Sofis. Mereka adalah sekelompok filsuf dan pengajar yang umum ditemukan pada masa Yunani Kuno sekitar abad ke-5 dan ke-4 SM. Fee-Alexandra Haase menyebut "Sophis" sebagai orang "khusus" dan "berbeda" yang bertindak sebagai kalangan terpelajar dan cendekiawan dari Mediterania. Oleh karena mereka memiliki pengetahuan yang berbeda (lebih banyak) dan mengajarkannya, orang-orang menyebutnya Sofis sebagai penanda. Seiring berjalannya waktu, istilah Sofis berkembang dengan menambah konotasi negatif yang dikaitkan dengan kemampuan manipulatif demi keuntungan karena kemampuan retorika dan pengetahuan yang dimiliki. Beberapa di antaranya, bahkan memasang tarif untuk pembelajarannya sebagai "upah mengajar". Walaupun tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang, orang pintar dibayar atas ilmunya, sebenarnya (sekali lagi) sah-sah saja.
Kemudian, bagaimana menjawab pertanyaan tentang influenser sebagai kaum Sofis model baru? Pertanyaan ini tidak bersifat menghakimi, tetapi setidaknya ada dua kemungkinan. Pertama, influenser sebagai kaum Sofis. Konsekuensinya adalah simbols-simbol kecerdasan dan retoris harus dilekatkan kepadanya. Memang benar, influenser kerap menggaet banyak pengikutnya di media sosial. Namun, terkadang influenser seolah menarik kursi kehormatan dari para intelektual sesungguhnya, yang telah mendedikasikan hidupnya demi ilmu pengetahuan. Tidak jarang mereka haus validasi, apalagi bila mereka diikuti oleh pengikutnya yang fanatik.
Sebaliknya, influenser bukanlah Sofis, maka gap pembeda antara keduanya harus jelas, misal fungsi Sofis dan influenser. Para Sofis adalah cendekiawan sejak awal, rancangannya memang seorang terpelajar yang dibayar, misalnya Protagoras. Sedangkan, influenser cenderung sebagai profesi yang biasanya diperuntukan untuk "menggaet" sebanyak-banyaknya pendukung. Konten influenser pun kadang edukatif dan informatif, bahkan mereka cukup retoris dan berpengetahuan yang menjadi alasan banyaknya warganet yang mengikuti. Kalau begitu, bedanya sangat tipis, karena influenser mendapatkan kekayaannya dari penjualan konten dan engagement, sedangkan Sofis layaknya seorang guru sekolahan.
Apapun itu, definisi ini bukanlah persoalan krusial, dibandingkan dengan peran influenser yang mampu mengeksploitasi daya gugah dan nalar penikmatnya. Influenser sendiri adalah profesi dengan prospek yang cukup menjanjikan di era Informasi seperti sekarang. Dalam artikel "Berapa Penghasilan Seorang Influencer Saham" di laman Tempo.co (2025), Rita dan Teguh Hidayat, influenser saham dengan pengikut di atas 50 ribu orang, disebutkan kerap bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan sekuritas. Tugasnya membuat konten edukasi pasar modal dan setiap konten bisa dibayai Rp500.000-Rp1.000.000.
Meski begitu, tidak jarang influenser menimbulkan kerugian. Misalnya, CNBC Indonesia dalam artikelnya "Ramai Kasus Investasi Bodong Oleh Influencer Saham, Apa Hukumannya?" melaporkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama Satuan Tugas Pemberantasan mengungkap investasi bodong yang dilakukan Ahmad Rafif Raya, influenser saham, dengan dana kelola mencapai Rp96 miliar.
Perlahan kita sadar, banyak persoalan yang melibatkan influenser justru didominasi dengan penderitaan korban pengikutnya, mulai dari kena penipuan, kehilangan banyak uang, atau bertengkar dengan sesama warganet. Jadi, apakah influenser bersalah sepenuhnya atau pengikutnya yang kurang bijak?
Mencerdaskan Diri
Tom Nichols dalam karya terkenalnya berjudul "The Death of Expertise: The Campaign Againts Established Knowledge and Why It Matters" atau dikenal dengan "Matinya Kepakaran", pernah menyebut soal fenomena kurang lakunya para pakar atau ahli dibandingkan para penyeru yang wara-wiri di berbagai konten media sosial lalu bicara soal masalah di luar kompetensi keilmian yang dimilikinya. Kelahiran Google, Wikipedia, dan Blog, digambarkan sebagai pembunuh idealisme ahli, yang menghapus batasan antara profesional dan awam, kompeten dan tidak. "Penolakan terhadap sains dan rasionalitas yang objektif, yang merupakan fondasi peradaban modern," ungkapnya.