Saya terkadang suka ketawa sendiri, kalo lihat cara kerja Pemprov DKI Jakarta, dengan mencoba mengingatkan penduduknya sendiri terhadap bahaya pandemi dengan memajang peti mati di berbagai tempat. Enggak paham saya maksudnya, ada peti mati di mana-mana, apa itu mau menakut-nakuti warganya, atau mengingatkan warganya supaya waspada, atau Cuma proyek Gubernur belaka? Entahlah, Cuma Anies doang yang paham maksudnya, yang saya tahu, memang seperti inilah ciri khas kepala daerah yang tidak bisa kerja, mereka suka bermain "gimmick" supaya bisa terlihat punya prestasi.Â
Kenapa saya katakan gimmick? Karena umumnya yang dia buat itu tidak ada gunanya, bahkan tidak ada fungsinya. Sekedar hanya pajangan semata, supaya orang memandangnya sebagai sebuah karya, padahal apa artinya juga orang belum tentu paham. Coba saja kita cermati, mana karya Anies Baswedan selama tiga tahun memimpin sebagai Gubernur DKI? Apa ada karya yang bermanfaat untuk warganya yang membuatnya diingat sebagai pemimpin daerah yang peduli? Hampir tidak ada. Yang ada hanyalah merubah ide-ide Jokowi dan Ahok dulu dengan mengubah namanya saja. Seperti rumah susun menjadi rumah lapis, Reklamasi diganti nama menjadi perluasan daratan.Â
Siapapun pasti tertawa melihat cara Anies mengingatkan warganya terhadap bahaya Covid-19 di daerahnya. Itu sama saja seperti menaruh mobil bekas tabrakan sebagai monumen yang menandakan kalau di daerah itu sering terjadi kecelakaan, tetapi faktanya angka kecelakaan juga tidak berkurang. Cuma monumen doang, siapa yang sadar? Dikira warga Jakarta pada bodoh apa? Mereka juga paham bahaya Covid-19, tidak usah di pamer-pamerin peti mati segala. Masalahnya sekarang warga Jakarta bekerja keluar rumah untuk cari makan, tidak bisa mengandalkan dari bansos yang isinya cuma mie instant doang.Â
Mau yang dipajang peti mati atau kain kafan, soal perut itu tidak bisa bohong, harus ada keluarga mereka yang perlu dikasih makan. Terus apa dampaknya memajang peti mati dimana-mana? Ya tidak ada, selain cuma buang-buang anggaran saja. Orang cuma lihat peti itu dengan ketawa, lalu semenit kemudian mereka lupa. Anies Baswedan sendiri terlihat bingung, apa yang harus dia lakukan, kalau teori sih banyak di kepala, tapi dia tidak paham bagaimana cara eksekusinya. Dia memang seorang akademisi, bukan seorang praktisi. Jadi apa yang mau diharapkan dari pemimpin yang banyak dengan teori-teori? Â
Paling kalau nanti diwawancarai media, Anies tinggal mengatakan, "We Don't Know What We Don't Know" yang meski saya muter-muter sudah cari arti harfiahnya tidak pernah ketemu, akhirnya saya ambil kesimpulan kalau dia itu "Don't Know What What", alias tidak tahu apa-apa. Begitulah kerugian warga Jakarta karena telah memilih pemimpin hanya karena dia seiman, bukan karena kemampuan. Kalau gak dibohongi pakai ayat, akhirnya yang muncul mayat, tinggal warga Jakarta sendiri yang harus bersikap mau getok kepala, atau mau elus-elus dada. Â