Mohon tunggu...
Siddy AF
Siddy AF Mohon Tunggu... Lainnya - Staff di Direktorat Jenderal Pajak

Mahasiswa Tugas Belajar DIV Akuntansi Sektor Publik di Kampus Politeknik Keuangan Negara STAN

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Rendahnya Tax Ratio Indonesia Akibat Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang Belum Optimal

5 Mei 2024   22:25 Diperbarui: 6 Mei 2024   12:22 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
unsplash.com/KellySikkema

Tax ratio atau rasio pajak didefinisikan sebagai perbandingan atau presentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) nominal suatu negara. Tax ratio berfungsi untuk mengukur kinerja penerimaan pajak suatu negara. Tax ratio digunakan untuk mengukur kemampuan Pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan pajak dari total perekonomian, yang digambarkan dengan total produk domestik bruto. Ukuran tax ratio dapat menunjukkan seberapa mampu Pemerintah membiayai keperluan-keperluan yang menjadi tanggung jawab Negara melalui penerimaan pajak yang mandiri. Ketika tax ratio suatu negara itu rendah maka mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak mampu mengoptimalkan penerimaan negara melalui pajak dari kegiatan ekonomi yang terjadi pada suatu negara.

Sumber: World Bank (2023)
Sumber: World Bank (2023)

Pada tahun 2022, tax ratio Indonesia berada pada level 10,39 persen, berada dibawah rerata negara ASEAN dan jauh dibawah rata-rata tax ratio dari negara OECD yang berada di angka 34 persen. Bahkan selama 18 tahun terakhir, tax ratio Indonesia hanya berkisar di angka 9 sampai 12 persen saja dan konsisten menurun. Menurut IMF, idealnya tax ratio sebuah negara sebesar 15 persen dan tax ratio negara maju rata-rata diatas 30 persen. Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang lebih setara, tax ratio Indonesia juga paling rendah. Rendahnya tax ratio ini menunjukkan rendahnya kemandirian fiskal Indonesia. Indonesia belum sepenuhnya bergantung pada penerimaan perpajakan untuk mendanai belanja negara.

Sumber: OECD (2022)
Sumber: OECD (2022)

Salah satu penyebab rendahnya tax ratio Indonesia ialah akibat kontribusi Pajak Penghasilan Orang Pribadi terhadap keseluruhan total penerimaan, serta terhadap total PDB yang masih sangat rendah. Di negara-negara maju atau bahkan di negara berkembang lainnya, kontribusi Penerimaan Pajak Penghasilan Orang Pribadi memiliki proporsi yang besar atau bahkan paling besar daripada pajak lainnya. 

Pada tahun 2021, PPh Orang Pribadi hanya menyumbang 9 persen atau 172,5 Triliun dari total penerimaan pajak secara keseluruhan sebesar 1.844,6 Triliun, angka ini jauh dibawah negara-negara lainnya. Hal ini menandakan bahwa terdapat potensi penerimaan pajak yang masih belum optimal dari PPh Orang Pribadi di Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Perpajakan di Indonesia terbaru, tarif PPh Orang Pribadi Indonesia ditetapkan secara progresif mulai dari 5 hingga maksimal 35 persen. Dibandingkan dengan negara lain di ASEAN tarif PPh Orang Pribadi yang ditetapkan tergolong tinggi, namun realisasi terhadap total penerimaan pajaknya paling rendah. 

Hal ini menandakan bahwa praktik pemungutan pajak terhadap PPh Orang Pribadi yang masih belum optimal di Indonesia. Pada dasarnya terdapat dua permasalahan terkait hal tersebut, pertama, kompleksnya pemajakan terhadap High Net Worth Individual (HNWI) dan pendapatan perorangan yang masih didominasi dari sektor informal dan berada dibawah level Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Mencoba melihat potensi penerimaan pajak dari HNWI, berdasarkan data 50 orang terkaya di Indonesia dari majalah Forbes, di tahun 2022 total kekayaan mereka sebesar USD 180,37 Miliar, meningkat 10,46 persen atau USD 18,87 Miliar dibandingkan tahun 2021. Dengan peningkatan sebesar itu di tahun 2022, maka jika kita coba kalikan dengan tarif PPh Orang Pribadi yang berlaku, peningkatan kekayaan sebagai pendapatan, terdapat potensi pajak sebesar Rp 102 Triliun rupiah, hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia. Angka yang sangat besar jika disandingkan dengan total penerimaan dari PPh OP yang hanya Rp 172,5 Triliun di tahun 2022.

Meskipun potensi pajak dari HNWI sangat besar, pemajakan terhadap orang-orang ini merupakan sebuah permasalahan yang rumit. Kompleksnya pemajakan HNWI tidak hanya dialami oleh Indonesia, melainkan hampir seluruh otoritas pajak di berbagai negara di dunia. Praktik tax planning dan tax avoidance yang dilakukan oleh para pemilik kekayaan terbesar ini menyebabkan sulitnya otoritas pajak untuk dapat memajaki pendapatan mereka. 

Selain itu, pemajakan terhadap HNWI ini dilematis, ketika orang-orang ini merasa bahwa pajak yang dikenakan terlalu tinggi, mereka dapat dengan mudah dengan segala resource yang dimiliki untuk memindahkan pendapatan dan kekayaannya ke otoritas negara lain dengan tarif yang lebih menguntungkan (walaupun praktik ini pun sudah dilakukan). Kementerian Keuangan sebagai otoritas diatas Direktorat Jenderal Pajak harus mempertimbangkan antara pemajakan yang tinggi atau memberikan kelonggaran agar investasi di dalam negeri tetap terjaga.

Hal lain yang disoroti terhadap HNWI ialah faktor politis yang sangat kuat di lingkaran tersebut. Menurut Hadi Poernomo, selaku mantan Direktur Jenderal Pajak, secara administratif, dasar hukum perpajakan di Undang-Undang sudah ada, namun terhadap aturan pelaksanaan dan praktik pelaksanaannya masih inkonsisten. Salah satunya terkait Pasal 95 RUU KUP yang dikirim Presiden Joko Widodo kepada DPR pada 2016 yang mengatur kedudukan Direktorat Jenderal Pajak di bawah kendali presiden. RUU yang kemudian dicabut kembali oleh pemerintah. Padahal dengan dengan kewenangan langsung di bawah presiden, DJP akan memiliki bargaining power yang kuat untuk meminta data keuangan dari kementerian dan lembaga lain. Selain itu, secara politis, dengan kedudukan dibawah presiden langsung akan lebih kuat dalam melakukan uji kepatuhan dan pemeriksaan terhadap para Wajib Pajak jika dibandingkan dengan posisi saat ini sebagai eselon I dibawah Kementerian Keuangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun