Sang guru, tetap tenang, membacakan ulang puisi yang telah dieditnya itu. Kemudian ia menatap tajam muridnya sambil berkata:
“Kau bilang kau sudah tak tergoyahkan bagai Mahameru menantang badai. Tapi hanya dengan ‘angin’ kata kentut saja, kau sudah tertiup jauh sampai ke sini.”
Kerapuhan di Balik Keyakinan Diri
Cerita Zen ini mengandung sindiran halus namun tajam. Kita sering merasa sudah matang, sudah kuat, atau bahkan sudah “tidak tergoyahkan.” Namun, ujian sebenarnya justru datang dari hal-hal kecil yang tampak sepele.
Kita mungkin bisa tabah menghadapi masalah besar, tetapi satu komentar pedas, satu ejekan remeh, atau satu kata yang menyakitkan hati bisa membuat kita jatuh dalam amarah. Seperti kata pepatah, “Kekuatan sejati bukan terletak pada mengalahkan orang lain, melainkan mampu menaklukkan diri sendiri.”
Mengenali Angin Duniawi
Dalam ajaran kebijaksanaan kuno, kehidupan manusia selalu dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai empat angin duniawi—pujian dan celaan, keberhasilan dan kegagalan, kebahagiaan dan penderitaan, kehormatan dan penghinaan.
Kutipan yang relevan menyatakan:
> “Seperti batu karang yang tak tergoyahkan oleh badai, demikianlah orang bijak tak terguncang oleh pujian maupun celaan.”
Sang yogi dalam cerita tadi sebenarnya sedang diuji. Bukan oleh badai besar, tetapi oleh “angin kecil”—sebuah kata yang tampaknya sepele. Namun justru dari situ ia melihat betapa rapuh fondasi batinnya.