Angin Kecil yang Menggoyahkan Gunung: Pelajaran dari Sebait Puisi
Di sebuah pulau terpencil, seorang yogi muda berlatih dengan penuh tekad. Ia meninggalkan keramaian dunia demi memperdalam batinnya. Setiap beberapa hari, seorang pesuruh dari wihara asalnya datang membawakan ransum dan keperluan pokok. Suatu kali, sang yogi meminta kertas dan pena. Dengan penuh kebanggaan, ia menuliskan sebuah puisi yang mencerminkan keyakinannya:
> seorang siswa sederhana dan tekun
pergi bertapa sendirian
di pulau terpencil
setelah sekian lama berlatih
siswa kini kokoh tak tergoyahkan
oleh empat angin duniawi
bagai Mahameru menantang badai.
Ia menitipkan puisi itu agar sampai ke tangan gurunya di seberang. Namun, ketika kembali menerima kertasnya, hatinya bergetar hebat. Di ujung setiap baris, gurunya menambahkan satu kata sederhana: “kentut.”
Membacanya, sang yogi yang tadinya mengaku kokoh “bagai gunung Mahameru” seketika terbakar amarah. Wajahnya memerah, dadanya panas, dan ia segera merebut dayung dari si pesuruh, mengayuh sekuat tenaga menyeberangi laut, lalu berlari ke wihara. Dengan teriakan keras, ia menuntut penjelasan gurunya.