Di tengah gemuruh narasi  hustle culture dan jargon "kerja keras adalah kunci sukses," muncul fenomena yang mengguncang dunia kerja modern yaitu quiet quitting. Bagi sebagian orang, ini dianggap kemalasan terselubung. Bagi yang lain, ini adalah strategi bertahan hidup yang cerdas. Namun, kedua pandangan itu keliru. Quiet quitting sesungguhnya adalah tanda bahaya dari hubungan yang tidak sehat antara pekerja dan perusahaan. Ini bukan soal individu yang "malas" atau "pintar," melainkan sistem kerja yang gagal menghargai sisi manusiawi.
Bukan Kemalasan, Tapi Penegasan Batas
Label "malas" sering dilontarkan oleh mereka yang terbiasa dengan dogma kerja tradisional, di mana lembur dianggap sebagai bukti kesetiaan. Namun, bagi generasi yang semakin sadar akan haknya, bekerja sesuai deskripsi pekerjaan adalah hal yang profesional, bukan kemunduran. Menolak rapat malam atau tugas tambahan tanpa bayaran bukan berarti tidak berdedikasi, melainkan wujud penghormatan pada diri sendiri.
Khususnya di Indonesia, di mana pulang tepat waktu terkadang dianggap tabu, quiet quitting adalah pernyataan tegas: "Saya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja." Pekerja yang memilih pulang tepat waktu atau tidak membalas pesan di akhir pekan tidak sedang memberontak. Mereka hanya berusaha menjaga kesehatan mental mereka dari budaya kerja yang menuntut pengorbanan tanpa batas.
Bukan Sekadar Cerdas, Tapi Cara Bertahan
Quiet quitting juga bukan trik cerdas untuk "curang" pada sistem. Ini adalah respons masuk akal terhadap dunia kerja yang sering kali memeras tenaga. Banyak pekerja mengalami kelelahan luar biasa (burnout) akibat tekanan kerja yang tidak manusiawi. Di Indonesia, ketimpangan antara gaji dan beban kerja memperparah situasi. Sering kali, pekerja dengan gaji pas-pasan harus mengerjakan tugas ganda tanpa ada kejelasan karier atau bonus. Dalam kondisi seperti ini, quiet quitting menjadi solusi dan dapat kita jadikan tameng. Itu adalah cara untuk tetap bertahan di pekerjaan tanpa harus mengorbankan diri sepenuhnya.
Ini adalah protes diam-diam. Dalam sistem di mana suara pekerja sering tidak didengar, menarik diri dari kerja berlebihan adalah cara aman untuk menuntut keadilan tanpa risiko dipecat. Ini bukan keberanian penuh, tapi strategi bertahan hidup yang realistis di tengah ketatnya persaingan di pasar kerja Indonesia.
Akar Masalah: Budaya Kerja yang Tidak Adil
Jangan salah paham, quiet quitting bukanlah sebuah penyakit, tapi ini adalah gejala dari penyakit yang lebih besar yaitu budaya kerja yang menuntut pengorbanan tanpa imbalan. Selama ini, perusahaan sering merayu pekerja dengan narasi "kita keluarga" atau "kerja keras adalah investasi." Namun, kenyataannya pahit: ketika ada masalah, hubungan itu terbukti hanya sebatas pekerjaan. Kesetiaan diminta, tapi jarang dibalas dengan adil.
Sistem lama seperti "setia sama dengan lembur gratis" masih merajalela, meski bertentangan dengan hukum. Sistem penghargaan juga sering gagal, hanya pujian kosong untuk  menggantikan bonus, dan jenjang karier macet di tengah janji-janji manis. Hal ni semakin diperparah oleh stigma bahwa "susah cari kerja lain," yang memaksa pekerja bertahan dalam kondisi tidak nyaman demi gaji bulanan.
Dari Quiet Quitting ke Perbaikan Nyata: Saatnya Bertindak