Mohon tunggu...
Best Siallagan
Best Siallagan Mohon Tunggu... Hobby membaca dan menulis

- AI Enthusiastic - Suka membuat cerita - Suka Nonton Film - Suka Nonton Bola (Penggemar Leonel Messi) - Millenial yang menolak ketinggalan untuk belajar teknologi masa depan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting: Bukan Malas, Bukan Cerdas, Tapi Sinyal Bahaya Budaya Kerja

6 Agustus 2025   17:45 Diperbarui: 6 Agustus 2025   17:45 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang wanita kelelahan dalam bekerja (Photo by Andrea Piacquadio: www.pexels.com)

Di tengah gemuruh narasi  hustle culture dan jargon "kerja keras adalah kunci sukses," muncul fenomena yang mengguncang dunia kerja modern yaitu quiet quitting. Bagi sebagian orang, ini dianggap kemalasan terselubung. Bagi yang lain, ini adalah strategi bertahan hidup yang cerdas. Namun, kedua pandangan itu keliru. Quiet quitting sesungguhnya adalah tanda bahaya dari hubungan yang tidak sehat antara pekerja dan perusahaan. Ini bukan soal individu yang "malas" atau "pintar," melainkan sistem kerja yang gagal menghargai sisi manusiawi.

Bukan Kemalasan, Tapi Penegasan Batas

Label "malas" sering dilontarkan oleh mereka yang terbiasa dengan dogma kerja tradisional, di mana lembur dianggap sebagai bukti kesetiaan. Namun, bagi generasi yang semakin sadar akan haknya, bekerja sesuai deskripsi pekerjaan adalah hal yang profesional, bukan kemunduran. Menolak rapat malam atau tugas tambahan tanpa bayaran bukan berarti tidak berdedikasi, melainkan wujud penghormatan pada diri sendiri.

Khususnya di Indonesia, di mana pulang tepat waktu terkadang dianggap tabu, quiet quitting adalah pernyataan tegas: "Saya bekerja untuk hidup, bukan hidup untuk bekerja." Pekerja yang memilih pulang tepat waktu atau tidak membalas pesan di akhir pekan tidak sedang memberontak. Mereka hanya berusaha menjaga kesehatan mental mereka dari budaya kerja yang menuntut pengorbanan tanpa batas.

Bukan Sekadar Cerdas, Tapi Cara Bertahan

Quiet quitting juga bukan trik cerdas untuk "curang" pada sistem. Ini adalah respons masuk akal terhadap dunia kerja yang sering kali memeras tenaga. Banyak pekerja mengalami kelelahan luar biasa (burnout) akibat tekanan kerja yang tidak manusiawi. Di Indonesia, ketimpangan antara gaji dan beban kerja memperparah situasi. Sering kali, pekerja dengan gaji pas-pasan harus mengerjakan tugas ganda tanpa ada kejelasan karier atau bonus. Dalam kondisi seperti ini, quiet quitting menjadi solusi dan dapat kita jadikan tameng. Itu adalah cara untuk tetap bertahan di pekerjaan tanpa harus mengorbankan diri sepenuhnya.

Ini adalah protes diam-diam. Dalam sistem di mana suara pekerja sering tidak didengar, menarik diri dari kerja berlebihan adalah cara aman untuk menuntut keadilan tanpa risiko dipecat. Ini bukan keberanian penuh, tapi strategi bertahan hidup yang realistis di tengah ketatnya persaingan di pasar kerja Indonesia.

Akar Masalah: Budaya Kerja yang Tidak Adil

Jangan salah paham, quiet quitting bukanlah sebuah penyakit, tapi ini adalah gejala dari penyakit yang lebih besar yaitu budaya kerja yang menuntut pengorbanan tanpa imbalan. Selama ini, perusahaan sering merayu pekerja dengan narasi "kita keluarga" atau "kerja keras adalah investasi." Namun, kenyataannya pahit: ketika ada masalah, hubungan itu terbukti hanya sebatas pekerjaan. Kesetiaan diminta, tapi jarang dibalas dengan adil.

Sistem lama seperti "setia sama dengan lembur gratis" masih merajalela, meski bertentangan dengan hukum. Sistem penghargaan juga sering gagal, hanya pujian kosong untuk  menggantikan bonus, dan jenjang karier macet di tengah janji-janji manis. Hal ni semakin diperparah oleh stigma bahwa "susah cari kerja lain," yang memaksa pekerja bertahan dalam kondisi tidak nyaman demi gaji bulanan.

Dari Quiet Quitting ke Perbaikan Nyata: Saatnya Bertindak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun