Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan Biarkan "Fomo" Menjebak Hidupmu

2 November 2021   21:11 Diperbarui: 2 November 2021   21:16 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seseorang mengalami FOMO|by pixabay

Apakah kamu sering mengalami situasi ketika bersantai, kamu membuka media sosial, melihat beberapa informasi dari teman-temanmu yang tampak bersenang-senang dengan segala aktivitas mereka sehingga kamu pun mulai meyakini bahwa kehidupan mereka lebih menyenangkan daripada kehidupanmu---dan akhirnya, kamu mengikuti gaya mereka karena tidak ingin dicap ketinggalan meski tanpa alasan logis. Nah, situasi seperti itulah yang bisa menyebabkan kamu mengalami spiral emosi (gejolak emosi) yang disebut FOMO. 

FOMO adalah singkatan dari Fear of Missing Out atau secara umum diartikan sebagai ketakutan akan ketertinggalan. Istilah FOMO pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan asal Inggris, Dr. Andrew K. Przybylski. Menurutnya, FOMO merupakan sindrom kecemasan yang disebabkan adanya penyesalan bahwa kita tertinggal informasi lebih banyak daripada orang lain.

Awalnya, FOMO muncul ketika seseorang merasa dikucilkan pada suatu komunitas sebab pada dasarnya manusia mengandalkan hidup kooperatif dalam kelompok untuk bertahan hidup. Jadi, tidak heran jika seseorang mulai merasa cemas ketika melihat anggota kelompok sosialnya melakukan hal-hal luar biasa tanpa dirinya. Kemudian, perasaan FOMO diperparah dengan keberadaan media sosial. Apalagi, media sosial memang digunakan sebagai ajang untuk menunjukkan eksistensi, kemampuan, atau gaya hidup seseorang meskipun tidak sedikit pengguna media sosial berusaha mempertahankan image atau harga diri demi menunjukkan kehidupan sempurnanya, padahal kenyataannya tidak demikian.

Hidup di era digital membuat kita mudah terhubung ke kehidupan orang lain hanya dengan satu ketukan jari. Banjir informasi yang muncul tanpa henti di media sosial memungkinkan kita menemukan sesuatu---baik maupun buruk. Untuk memahami bagaimana FOMO berkembang secara psikologis, para peneliti---dalam studi yang lebih baru---mulai melihat fenomena tersebut melalui lensa self-determination theory.

Teori tersebut menyatakan bahwa seseorang memiliki tiga kebutuhan psikologis bawaan untuk pengembangan psikososial dan motivasi diri yang tepat: otonomi (kebutuhan untuk mandiri), kompetensi (keinginan untuk unggul dalam sesuatu), dan keterkaitan (kebutuhan untuk memiliki dan terhubung dengan orang lain). Hakikatnya, pemenuhan kebutuhan seseorang dalam ketiga pembagian ini mampu memotivasi dirinya, baik secara internal maupun eksternal. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi, saat itulah seseorang merasakan FOMO.

Dikutip dari situs "sciencedaily", manusia di dunia ini memiliki kecenderungan mengukur standard hidup mereka berdasarkan unggahan sosial milik seseorang yang dijadikan sebagai ruler-mode---siapa saja. Jika dibiarkan terus menerus, FOMO akan menyebabkan efek negatif, baik secara langsung maupun tidak. Standard hidup yang tidak terpenuhi, perlahan-lahan, akan menimbulkan kecemburuan sosial, bahkan iri atau dengki.

Gangguan FOMO untuk mendorong seseorang menjadi orang lain melalui akses media sosial,  sudah termasuk ke dalam kategori gangguan kejiwaan. Kasus terbanyak terjadi pada remaja sebab mereka yang paling banyak mengakses media sosial. Gejala FOMO yang paling umum terindikasi, yaitu ketika seseorang tidak bisa lepas dari layar ponsel. Kekhawatiran melepas ponsel, bahkan sedetikpun, menyebabkan dirinya seolah-olah melewatkan berita baru. Akhirnya, kepedulian terhadap dunia maya lebih besar daripada terhadap dunia nyata---hati-hati, lho, jika kamu sudah mulai tidak peduli dengan kehidupan sosial di dunia nyata, dan serta muncul keinginan yang besar untuk diakui orang lain di dunia maya, sindrom FOMO sudah mulai mendekati kamu.

Seperti ketakutan lainnya, FOMO dipicu oleh aktivitas di "Amigdala", bagian otak yang mengontrol respons "lawan atau lari". Beberapa penelitian menunjukkan bahwa efek dari rasa sakit sosial, seperti dikucilkan atau mengalami kehilangan, benar-benar mengaktifkan bagian otak yang sama dengan rasa sakit fisik. Mereka menemukan bahwa FOMO berkorelasi negatif dengan suasana hati, kepuasan kebutuhan psikologis, dan  kesejahteraan hidup. Penelitian juga menemukan bahwa FOMO diperburuk oleh sesuatu yang disebut deprivasi relatif individu: tingkat seseorang merasa kehilangan sesuatu yang seharusnya mereka miliki berdasarkan norma-norma sosial.

Studi lainnya menemukan bahwa pengidap FOMO skala tinggi berkorelasi dengan peningkatan penggunaan jejaring sosial, terutama Facebook, WhatsApp, dan Instagram, tetapi kesimpulan studi ini masih perlu dikaji lagi. Orang-orang dengan FOMO tinggi, menggulir informasi melalui jejaring sosial tersebut dan melihat semua kesenangan yang tidak mereka miliki dapat memperburuk kecemasan mereka. Akan tetapi, bagi sebagian orang---seperti mereka yang memiliki FOMO rendah atau yang FOMO-nya membuat mereka menjadi lebih nyata---mungkin saja media online tidak berbahaya, atau bahkan membantu mereka membina koneksi.

Karena media sosial adalah salah satu cara utama seseorang terhubung sebagai aktivitas sosial, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami bagaimana paparan terus-menerus seseorang itu terhadap kehidupan orang lain memengaruhi FOMO atau dipengaruhi oleh FOMO. Itulah mungkin mengapa FOMO sangat terkait dengan penggunaan media sosial sebab tidak ada yang membuat seseorang siap untuk terus-menerus dibandingkan dengan rekan-rekannya seperti di media sosial. Jadi, FOMO itu nyata, dan itu bisa menyebalkan. Untungnya, para psikolog telah mempelajari apa itu FOMO dan mengapa syndrom itu terjadi. Mereka pun telah memiliki beberapa ide tentang bagaimana mengurangi FOMO dan menemukan beberapa trik untuk menanggulangi efek negatifnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun