Mohon tunggu...
Shopiah Syafaatunnisa
Shopiah Syafaatunnisa Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Minat dengan isu pendidikan dan agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Bercerai Itu Halal

1 Juli 2023   15:36 Diperbarui: 1 Juli 2023   15:42 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dok. pribadi

 

Masyarakat kita seringkali berasumsi bahwa perceraian itu aib dan dosa, melukai anak dan keluarga, bahkan pasangan yang bercerai selalu dipersepsikan sebagai figur yang gagal dan rusak dalam berumah tangga. 

Memang kita sangat masyhur dan mengerti bahwa perceraian itu tidak disukai Allah dan paling Allah benci, namun jarang sekali yang mengulik tentang mengapa cerai dihalalkan dalam Islam. Sebagaimana sabda Rasullah saw bahwa talak itu perbuatan halal yang paling dibenci Allah. (HR. Abu Daud no. 2178). Tentu ada hikmah yang bisa kita pelajari di balik hukum syariat kita yang selalu menyimpan maslahat untuk umat.

Gaya bahasa hadis di atas sangatlah bermakna. Umpamanya ialah hadis tentang siwak, Rasul bersabda, kalaulah tidak memberatkan atas umatku, maka aku akan menyuruhnya bersiwak setiap wudhu. Sekilas seolah-olah siwak wajib setiap wudhu. Padahal itu hanya anjuran saja.

Pun sama halnya dengan hadis mengenai talak di atas, meski disebut sebagai halal, tapi halal nya penuh makna, tidak bisa sekenanya. Bahkan dilanjutkan dengan kalimat paling Allah benci, betapa kehalalannya menunjukan sangat tipis, sangat dekat dengan murkaNya, jika tidak berhati-hati.


Setiap insan memiliki ujiannya masing-masing, yang telah Allah tetapkan sejak di lauh al-mahfuz. Diantara mereka ada yang harus diuji dengan pernikahan, dan inilah sisi yang harus dipahami oleh masyarakat agar tidak memandang perceraian dengan sebelah mata. Akan tetapi tulisan ini juga bukan untuk agar pasangan bermudah-mudahan dengan talak. Sekedar untuk dipahami bahwa bercerai sudah ada sejak zaman Rasulullah, namun tentu dalam keadaan yang betul-betul dibenarkan oleh syariat. 

Sekilas tentang Talak

Allah swt berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath Thalaq: 1)

Ayat di atas berisikan syariat talak dalam Islam. Para ulama sepakat akan dihalalkannya talak, itupun harus dalam kondisi yang memang pernikahan tidak memungkinkan untuk dilanjutkan karena hanya akan memberikan mafsadat. Sama halnya seperti hukum menikah, talak bisa dihukumi halal, namun bisa juga berubah menjadi makruh, bahkan haram, sesuai konteks dan keadaan.

Allah swt berfirman:

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آَتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya.” (QS. Al Baqarah: 229).

Dalam hadis yang diriwayatkan Tsauban juga dikatakan bahwa wanita mana saja yang meminta cerai tanpa ada alasan yang jelas, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Daud no. 2226). Itu artinya, sekalipun terdapat syariat talak (cerai), namun tentu persyaratannya sangatlah ketat, halal bukan berarti dibolehkan untuk bermudah-mudahan menggugat maupun meminta cerai.

Ibnu Hajar Al-Atsqalani yang juga dikutip tafsir al-Qurthubi memaparkan hukum bercerai secara terperinci. Cerai dihukumi wajib manakala hubungan sudah tidak bisa lagi diperbaiki meski sudah melakukan mediasi. Cerai dihukumi sunnah manakala seseorang tidak mampu memenuhi hak pasangannya maupun sifat pasangan yang tidak mampu menjaga kehormatan diri serta pasangan yang tidak memperhatikan perkara yang wajib dalam agama. Cerai dihukumi boleh karena perangai buruk pasangan yang bisa berefek negatif sehingga jika dipertahankan tidak meraih tujuan pernikahan. 

Cerai dihukumi makruh manakala kondisi rumah tangga terbebas dari hal-hal yang menyebabkan dibolehkannya cerai dalam syariat, dan pernikahan justru masih bisa diteruskan. Cerai dihukumi haram, dengan alasan yang hampir sama dengan hukum makruh, namun lebih tinggi tingkat pelanggarannya karena tidak sesuai dengan petunjuk dalam quran dan sunnah atau dikenal dengan talak bid'i, misalnya menceraikan istri dalam keadaan istrinya haid atau dalam keadaan suci setelah disetubuhi. (Fathul Bari, 9/346).

Larangan Bermudah-mudahan Cerai

Agama kita memerintahkan umatnya untuk menjaga dan menahan lisan dari berkata maupun berucap yang tidak sepatutnya, termasuk dalam hal ini agar tidak bermain-main dengan ucapan talak. Diperkuat oleh sabda Rasulullah saw bahwa ada tiga hal yang bila dikatakan dengan sungguh-sungguh akan jadi dan bila dikatakan dengan main-main akan jadi pula, yaitu nikah, talak dan rujuk. (HR. Ibnu Majah no. 2039). 

Oleh karena itulah, hindari berucap tanpa berpikir, agar tidak ada penyesalan di akhir, apalagi tanpa sebab yang dibenarkan syara', apalagi menyangkut kehidupan rumah tangga yang tentu masih sangat panjang. Syariat nikah, talak, rujuk, sebenarnya sebuah perhatian besar dari agama Islam dalam menciptakan solusi bagi kehidupan berumah tangga.

Namun perlu digarisbawahi, bercerai tentu bukan karena faktor bermudah-mudahan sekenanya. Apalagi dalam Islam, harus ada tahapan yang dilalui. Proses menangani pasangan yang nusyuz saja harus melalui banyak tahap. Selain itu, terjadi percekcokan pun tidak serta merta pada keputusan bercerai, Islam justru menganjurkan mediasi sebagaimana firmanNya:

“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa: 35).

Adapun sebab-sebab yang dapat dijadikan alasan perceraian di negara kita tertera dalam undang-undang Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Aturan Pelaksanaan bagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Penutup

Pada hakikatnya, Islam menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga antara suami istri. Selain itu, menikah adalah ibadah terpanjang, yang bahkan ulama tidak menginginkan mati dalam keadaan membujang, saking besarnya pahala menikah. Sepanjang perselisihan masih bisa diperbaiki, masih bisa diperjuangkan, maka berusahalah, kuatlah, dan pertahankanlah. Bukankah setan senang dengan perceraian dan amat benci dengan pernikahan? Bahkan kebanggaan setan adalah ketika berhasil memecah belah hubungan suami istri. (Lihat HR. Muslim no. 2813).

Hanya saja, ada insan yang harus melalui pernikahan dengan tidak langgeng, tidak ada yang bisa diperbaiki dan benar-benar jalan terakhir. Pernikahan yang bila dilanjutkan tidak menemukan makna, pernikahan yang tak lagi memberi kebaikan bagi kedua belah pihak, pernikahan yang hanya berisikan madharat dan mafsadat yang tak kunjung menemukan titik temu meski sudah berusaha dengan berbagai cara, maka pada hakikatnya syariat telah memfasilitasi solusinya, sepanjang solusi itu dipergunakan sebagaimana mestinya. Bahwa ada perpisahan yang dibenarkan dan bukan karena hawa nafsu semata.

Jikapun terpaksa harus dihadapkan pada keputusan bercerai, maka berpisahlah secara baik-baik, bukankah Allah berfirman, 

"Apabila kamu mencerai isterimu, kemudian telah sampai pada batasnya, maka rujuklah mereka itu dengan baik atau kamu lepas dengan baik pula..." (QS. Al-Baqarah ayat 231).

Wallah a'lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun