Mohon tunggu...
Muhammad Shoma
Muhammad Shoma Mohon Tunggu... Jurnalis - Wasis Solopos Angkatan XX

cogito ergo sum.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Pilkada 2020, Balada Martir Demokrasi Semu

5 Oktober 2020   20:59 Diperbarui: 6 Oktober 2020   08:44 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Grafiti yang berisi harapan masyarakat terkait penundaan Pilkada 2020 karena pandemi Covid-19 menghiasi tiang penyangga jalan layang bus transjakarta di Jalan Cildug Raya, Kebayoran Lama, Jakarta, Sabtu (3/10/2020). (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Sungguh pernyataan yang bertolak belakang dengan optimisme pemerintah saat menyatakan bahwa vaksin untuk Covid-19 akan segera disebarluaskan--salah satunya vaksin CoronaVac yang diimpor dari Cina juga vaksin Sinovac--dan keyakinan pandemi segera berakhir.

Pada Jumat (25/9) dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Mendagri Tito Karnavian menyatakan bahwa Pilkada 2020 bisa membangkitkan ekonomi masyarakat. Namun pendapat bekas Kapolri itu adalah pemikiran yang ngawur dan tak berdasar.

Seberapa pun banyaknya kalkulasi keuntungan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat, hal itu tetap tak seimbang dengan ledakan jumlah orang yang terinveksi dan meninggal dunia akibat Covid-19.

Berkaca dari Pilkada serentak pada 2018, pesta elektoral itu menyumbang tambahan pertumbuhan (ekonomi) konsumsi sekitar 0,2 hingga 0,3 persen. Angka ini didapatkan dari akumulasi belanja KPU dan calon kepala daerah (Simanjuntak, 2018). 

Jika kita pinjam angka tersebut dan mengkomparasikannya dengan tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang menyentuh angka 3,8 persen (Tempo, 2020) sungguh perbandingan yang amat jauh merugikan. Sangat tidak worth it mempertaruhkan nyawa manusia Indonesia demi argumen--yang "katanya", untuk kepentingan ekonomi rakyat.

Jika Kemendagri bisa menghentikan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) 2020, sesungguhnya pemerintah, DPR bersama KPU juga bisa menunda Pilkada Serentak 2020. Adalah sesat pikir jika ada yang berargumen "Seharusnya Pilkades tetap dijalankan, karena Pilkada juga diteruskan." 

Mungkin orang-orang yang berpendapat seperti itu belum pernah membaca kalkulasi pegiat survei politik Muhammad Qudori. Qudori memperkirakan akan ada 1,76 juta orang meninggal dari 50,2 juta orang yang terlibat yang didasarkan pada 3,8 persen tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia (Tempo, 2020)

Guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra menolak Pilkada 2020 dan mendeklarasikan diri untuk golput.

Bukan pernyataan sikap yang tak berdasar, pemikiran Azyumardi ini selain mengantisipasi ledakan masyarakat yang terinveksi Covid-19 juga bentuk solidaritas untuk para masyarakat yang telah terinveksi Covid-19.

Gerakan moral seperti yang dicontohkan Prof. Azyumardi adalah preseden baik bagi demokrasi Indonesia yang sedang "puber". Sejalan dengan prinsip Patrap Triloka Ki Hajar Dewantara, bahwa Ing ngarsa sung tuladha, seorang pemimpin harus memberi contoh.

Agar sebab-sebab munculnya "zaman edan" seperti yang diungkapkan pujangga Keraton Surakarta R.Ng. Ranggawarsita dalam Serat Kalatidha tak terjadi saat pagebluk ini. Sudah saatnya kita eling lan waspadha. Sebab kini pilihan kita hanya dua: tunda Pilkada Serentak 2020 atau golput.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun