Sungguh tidak menarik dan berbahaya! Banyak masayarakat yang mulai muak dengan politisasi isu agama ini! Itulah kata yang paling tepat menyikapi kondisi perpolitikan di DKI Jakarta yang kian hari kian memprihatinkan. Politisasi isu agama dimaksud adalah adanya dugaan pelecehan terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an surat Al Maidah ayat 51 yang dilakukan Ahok saat berpidato dihadapan masyarakat kepulauan Seribu. Ahok dianggap melecehkan sakralitas Ayat-ayat suci Al-Qur’an.
Walau Ahok secara resmi telah meminta maaf karena tidak bermaksud sama sekali melecehkan nilai-nilai Al-Quran namun beberapa elemen masyarakat tetap melakukan gugatan atas kasus ini dan meneruskan kasus ini ke jalur hukum. Gugatan ini disinyalir terkait dengan kepentingan politik Pilkada 2017 nanti.
Kasus ini sepertinya menjadi amunisi paling menarik terutama bagi kalangan anti Ahok yang memang terus berusaha mencari celah kekurangan yang dimilikinya. Padahal isu ini terlalu sensitif dan berbahaya untuk dimainkan sebagai amunisi politik. Apalagi bila dimanfaatkan pihak-pihak tak bertanggungjawab untuk mengeruk di air keruh. cap jemol darah misalnya mulai muncul di beberapa wilayah sebagai tanda keseriusan mereka atas sikap beberapa elemen masyarakat yang anti Ahok. Kondisi jelas perlu dikhawatirkan.
Harus diakui bahwa menjual simbol-simbol agama dianggap cara yang paling mudah dan cepat dalam meraup suara rakyat. Apalagi hampir 80% penduduk negeri ini beragama Islam. Hampir bisa dipastikan dalam kampanye partai politik, semuanya menjual simbol agama untuk meraih simpati publik. Hal ini cukup beralasan disebabkan tingkat pemahaman masyarakat yang belum sepenuhnya memadai tentang esensi Pilkada. Pilkada itu sesungguhnya memilih pemimpin yang bisa membawa DKI ke arah yang lebih baik, maju dan mensejahterakan rakyatnya. Bukan hanya persoalan isu agama yang dianutnya.
Menurut pengalamatan penulis, Semuanya berjalan dengan logika pembenaran absolut versi masing-masing. Tak peduli mana yang benar dan etis. Peta persaingan antar-politisi ini tak ubahnya seperti Taktik Machiavelli yang menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Hal ini terjadi karena masih sulitnya mereka mencari celah merebut simpati rakyat.
Sejatinya, pertarungan menuju kursi orang nomer 1 di DKI ini dapat dilakukan dengan cara-cara yang lebih berkualitas. Alangkah elegannya jika seluruh kandidat mereka benar-benar menjalankan misi politik dengan cara-cara yang lebih bertanggungjawab. Masih banyak topik dan permasalahan penting lainnya yang bisa dijadikan materi kampanye untuk memikat hati masyarakat daripada hanya sekedar isu yang penuh kontroversi. Usulan cerdas mengatasi problem kemiskinan, peningkatan mutu SDM dan pendidikan, strategi penyejahteraan rakyat, dan reformasi mental korup misalnya dapat dijadikan ”jualan” bermutu.
Penulis berharap, seluruh kandidat calon Gubernur DKI dan para simpatisannya tetap memakai akal sehat dan kejernihan berpikir untuk memilah-milah persoalan dan isu yang berkembang. Jangan lagi kita mau diadu domba dan terpancing dalam tindak-tindak kekerasan dan kerusuhan atas alasan apapun, apalagi alasan agama. Sesungguhnya agama telah dijadikan alat politik untuk sekedar mencari simpati masyarakat demi meraih kemenangan dalam Pilkada nanti. Yang pasti, masyarakat sudah sangat cerdas memilih pemimpin terbaik mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI