Tentu tidak  mudah menjawab pertanyaan ini. Secara normatif seharusnya pesantren memang menjadi wahana keaderisasi ulama. Tetapi secara faktual, bagaimana? Apalagi sampai sekarang sosok dan kompetensi ulama yang didambakan oleh masyarakat belum ada kesepakatan umum yang memadai sebagai standar. Pada kalangan tertentu nomenklatur ulama lebih dipahami  sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang dalam, bukan sekadarnya saja.Â
Mereka taat beribadah, memiliki sifat-sifat wara' (sungguh dan rendah hati) memiliki  integritas pribadi yang tinggi, qanaah atau mencukupi kepentingan dunia secara sederhana dan tidak berlebihan apalagi terkesan mewah. Ulama menjadi mumpuni (disegani) dan memiliki percaya diri yang tinggi serta kharisma, wibawa dan akhlak yang mulia. Lebih dari itu diri dan keluarganya tidak punya aib dan cela etika, sosial dan ekonomi.Â
Tentu saja di dalam pergaulan sosial, sosok ulama yang diidamkan adalah yang uswatun hasanah, ikutan ummat, pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita. Mereka yang hanya punya ilmu, berakhlak dan integritas saja bukan dari kalangan yang berkecimpung di dalam soal-soal agama dan keagamaan, ghalibnya mungkin disebut para sarjana, Â ilmuwan atau cendekiawan (zu'ama) saja.
Pada pihak lain ada obsesi ummat yang menggebu-gebu, bahwa yang dimaksud ulama itu adalah tokoh identifikator seperti Inyiak H. Agus Salim, Buya HAMKA, Buya AR Sutan Mansyur, Buya HMD Dt. Palimo Kayo, belakangan H. Harun el-Maany di Kauman Padang Panjang. Atau mendahului generasi ini, Â yang diinginkan adalah ulama seperti ayahnya HAMKA, Inyiak Rasul atau HAKA (Haji Abdul Karim Amarullah); Inyiak Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek; Inyiak Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, Inyiak Sulaiman al-Rasuli atau Inyiak Canduang; Inyiak Jaho, Thaib Umar di Sungayang dan seterusnya.
Menurut hemat penulis, mayoritas  atau kalau bukan semuanya, para ulama-ulama besar tadi, secara utuh menurut biografi yang terbaca, dikenal bukan karena lahir dari sebuah pesantren, surau, madrasah atau sekolah, tetapi setelah mengalami penjelajahan dan eksplorasi ilmu melalui pendidikan di berbagai tempat, baik formal maupun informal dengan kesempurnaan upya mereka ber-autodidak . Dimulai pendidikan awal dari keluarga yang pada umumnya, ayah mereka sudah ulama dalam ukuran yang relatif mumpuni (punya nama, disegani dan berwibawa)  di masanya, kemudian memang mereka menuntut ilmu ke berbagai surau dan lalu sebagai lanjutan yang lebih dalam mereka menyauk ilmu ke sumbernya di Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agamanya.Â
Kemudian mereka pulang dan menjadi tempat ummat mengadukan soal-soal kegamaan dan kehidupan. Lebih dari itu mereka lebih kepada auto didak. Di antara mereka (sebagian besar) berbasis madrasah atau surau atau lembaga pendidikan tempat pusaran kehidupan. Zainudin Labay el Yunusi, Â berdua dengan saudara perempuannya Etek Rahmah El-Yunusiah yang satu-satunya ulama perempuan diberi gelar Syaikhakh oleh Universistas Al-Azhar Kario, Mesir (1960-an).
 Kedua besaudara ini mendirikan madrasah Diniyah Putra dan kemudian Diniyah Putri. Inyiak Rasul mendirikan Thawalib Padang Panjang sementara Inyiak Parabek dan Inyiak Canduang mendirikan madrasah di parabek dan di Candung, begitu pula inyiak Jaho di Jaho Padang Panjang. Abdullah Ahmad dengan PGAI dan Adabiyahnya. Inyiak Jambek dengan surau inyiak Jambek yang dikenal itu.
Apabila padanan klasik tadi yang disebut ulama  yang dijadikan rujukan dewasa ini, maka menjadikan pesanatren sebagai wahana kaderisasi ulama meminta beberapa hal yang harus dipertimbangkan berikut ini. Pertama, pesantren sekarang harus memiliki tokoh  ulama besar atau guru besar  seperti kiyai kalau di Jawa. Tokoh ini bukan saja menjadi guru yang mengajarkan ilmu, tetapi langsung menjadi role-model bagi para santrinya sekaligus soko gru atau tonggak utama bagi ustaz dan ustazah serta guru di pesantren tersebut.Â
Menurut hemat penulis, tokoh yang seperti disebutkan tadi itu yang langka (untuk tidak menyebutkan tidak ada) sekarang ini  di pesantren, di Sumbar. Pada pondok pesantren ini  harus ada semacam kiyai tadi yang di sini boleh disebut Buya, Tuanku atau Inyiak. Beliau-beliau itulah yang menjadi motor penggerak, oran tua dan tokoh utama pemilik otoritas penuh pengendali ilmu, moral, akhlak dan kharisma sebuah pesantren.
 Kedua, soal subyek ilmu dan kurikulum  yang diajarkan. Sudah dimaklumi, bahwa apapun pesantrennya, sekolah dan madrasahnya dewasa ini yang ingin tamatan atau lulusannya mendapat civil effect dan pengakuan pemerintah, seyogyanyalah menggunakan kurikulum resmi pemerintah yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum.Â
Seberapa jauh tingkat daya serap santri, siswa atau murid mampu mengikuti dan menguasai mata pelajaran yang sangat banyak tersebut, tentu perlu direnungkan. Bila sosok ulama klasik masa lalu yang akan dilahirkan, maka mata belajaran atau subyek ilmu-ilmu yang diajar dan dipelajari harus diseleksi sedemikian rupa dan yang paling utama adalah ilmu-ilmu agama itu sendiri yang diprioritaskan. Ulumul qur'an dan ulumul hadist, fikih dan ushul fikih, tauhid, ilmu tasawuf, ilmu akhlak dan seterusnya.Â