Mohon tunggu...
Shofi Aulia
Shofi Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa 23107030043 UIN Sunan Kalijaga

23107030043 UIN Sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dua Rasa Satu Pasar: Cerita Pedagang Gulali Jadul dan Sate Koyor di Beringharjo

24 Mei 2024   01:21 Diperbarui: 24 Mei 2024   01:43 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yogyakarta-- Ketika berkesempatan untuk berkunjung ke Yogyakarta, salah satu destinasi wisata yang wajib dijelajahi adalah Malioboro. Malioboro yang tak pernah sepi dari wisatawan membuat salah satu pasar yang bernama Beringharjo juga luput didatangi berbagai macam pengunjung, seperti turis mancanegara, rombongan study tour, dan masyarakat lokal ikut memadati sepanjang jalan Malioboro.

Pasar Beringharjo dibangun pada tahun 1758. Sebagai pasar terbesar dan tertua di Yogyakarta, Beringharjo bukan hanya tempat berbelanja, melainkan juga memiliki nilai sejarah dan budaya yang mendalam. Posisinya yang strategis membuatnya menjadi magnet bagi para pengunjung yang ingin merasakan kehidupan dan keanekaragaman kota Jogja.

Pasar ini terkenal sebagai pusat wisata belanja dengan harga terjangkau. Sehingga menjadikannya tempat yang sangat diminati oleh wisatawan. Ada berbagai macam barang, jajanan, pakaian, serta aksesoris yang ditawarkan oleh para penjual. Salah satu produk khas Jogja adalah batik. Dan pasar ini menawarkan koleksi batik yang sangat lengkap, mulai dari kain biasa hingga kain siap pakai. Selain batik, aneka jajanan khas Jogja, aksesoris dan printilan-printilan menarik, sampai barang antik dapat ditemukan di pasar ini.

Penjual Gulali Jadul- dok.pribadi
Penjual Gulali Jadul- dok.pribadi

Disekitar Pasar Beringharjo terdapat pedagang kaki lima yang menjajahkan berbagai macam jenis cemilan, menambah keberagaman kuliner yang bisa dinikmati oleh para pengunjung. Salah satunya adalah penjual gulali jadul yang berasal dari Jawa Barat. Terbuat dari gula pasir yang dilelehkan dan dibentuk dengan keterampilan tangan yang lihai, Bapak penjual gulali ini sudah berjualan sejak tahun 2005. Untuk harga tidak mengalamai kenaikan signifikan, gulali ini dibandrol dengan harga 5000 rupiah.


"Buka dari jam setengah tujuh, kalo tutupnya ya mungkin jam 8 sampai jam 9 lah." Jelas Bapak tersebut mengenai jam bukanya. Tak hanya anak kecil yang membeli, namun ada orang dewasa juga yang tertarik untuk mencoba jajanan jadul tersebut. Karena bahan utama dalam pembuatan gulali ini adalah gula, jadi tak heran jika rasanya hanya manis. Dengan harga yang terbilang cukup murah membuat orang semakin tertarik untuk merasakan dan bernostalgia masa kecil. "Pas pandemi ya saya pulang, ngga jualan. Tapi di rumah saya narik." Ungkap Bapak tersebut mengingat dampak Covid-19 beberapa tahun silam yang sungguh luar biasa.

sate koyor- dok.pribadi
sate koyor- dok.pribadi

Salain gulali jadul yang kental dengan kenangan masa kecil, ada sate koyor yang merupakan kuliner yang wajib dicoba. Ibu Penjual asli Madura ini menjual beberapa jenis sate, yakni sate ayam, sate koyor atau lemak, dan sate telur puyuh. Satu porsi sate ayam menggunakan lontong dibandrol dengan harga 20 ribu rupiah, jika tanpa lontong 15 ribu rupiah. Berisi 10 tusuk sudah dapat membuat perut kenyang. Berbeda dengan sate ayam yang dijual per porsi, sate koyor dan sate telur puyuh dijual dengan harga tiga ribu rupiah per tusuk. Tentunya dengan ukuran yang lebih besar. Koyor sendiri merupakan sebutan dar lemak atau gajih sapi. Sensai memakan sate koyor yang kenyal dan disiram dengan bumbu kacang yang kental juga sedap dan dimakan sembari menikmati suasana riuh Malioboro menciptakan euphoria tersendiri bagi para pengunjung.

"Kalo habis ya pulang, ngga nentu dek. Kalau hari libur dari pagi, kalau hari biasa ya mungkin siang atau sore." Jelas Ibu penjual sate koyor. "Pindah-pindah dek, ngga netep." Tambah beliau. Yang membuat unik para penjual sate koyor adalah tungku pembakaran yang diangkat dan diletakkan di atas kepala. Perlu keseimbangan dalam melakukan hal tersebut. Sama dengan Bapak penjual gulali jadul, Ibu penjual sate ini pun mengaku mengalamai kemerosotan ekonomi sepanjang pandemi Covid-19. "Saya pulang dek, mau jualan pun ngga ada yang beli." Ungkap Beliau.

Pedagang kaki lima di Pasar Beringharjo memberikan gambaran mendalam tentang ketahanan, kreativitas, dan semangat juang para penjual ditengah berbagai tantangan. Meskpiun menghadapi berbagai kendala seperti penurunuan penjualan selama pandemi, kesulitan akses modal, dan persaingan ketat, para penjual menunjukkan kempampuan beradaptasi dan mampu menjajaki peluang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun