Mohon tunggu...
Shofi annisa
Shofi annisa Mohon Tunggu... Mahasiswa UNY

Geografi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pariwisata mewah, warga tergusur: potret konflik ruang di Bali

31 Mei 2025   14:00 Diperbarui: 31 Mei 2025   13:54 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan pariwisata Bali khususnya kedatangan mancanegara cukup tinggi. Berita resmi statistik no. 28/05/51/Th.XVIII 2 Mei 2024 menunjukkan kenaikan kedatangan mancanegara secara 31,49% melalui pintu udara. Di antara negara asal wisatawan mancanegara, Australia menempati posisi teratas dengan kontribusi sekitar 24,80% dari total kunjungan wisatawan asing. Tidak hanya dari mancanegara, sektor pariwisata Bali juga mengalami peningkatan dari segi kunjungan wisatawan domestik. Dibandingkan dengan tahun 2023, jumlah wisatawan nusantara yang datang ke Bali meningkat sebesar 19,5%. Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa Bali tetap menjadi destinasi favorit bagi masyarakat Indonesia.  Adanya perkembangan di bidang pariwisata tersebut menjadi ancaman tersendiri terhadap fungsi lahan yang ada di Bali ini. Gubernur Bali I Wayan Koster menyatakan bahwa alih fungsi lahan semakin mengkhawatirkan terutama setelah kondisi Pandemi Covid-19. Peningkatan pembangunan infrastruktur pariwisata, seperti hotel, villa, dan fasilitas penunjang lainnya, telah mendorong konversi lahan pertanian secara masif menjadi kawasan komersial. Bahkan Bali yang juga dikenal sebagai produksi beras juga menurun drastis hingga 50% dalam lima tahun terakhir yang semula sekitar 100 ribu ton. Kondisi ini menunjukkan bahwa Bali tengah menghadapi krisis dalam tata guna lahan. 

Menurut Suyadnya (2021), gentrifikasi dalam sektor pariwisata di Bali merupakan bentuk perubahan sosial dan spasial yang terjadi akibat masuknya investasi dari pihak swasta maupun pemerintah ke wilayah berpendapatan rendah, yang kemudian memicu pembangunan sarana wisata secara masif dan mendorong terjadinya over turisme. Fenomena gentrifikasi justru membuat masyarakat lokal semakin terpinggirkan, terutama akibat masuknya investasi dari pihak luar serta meningkatnya nilai ekonomi di kawasan tersebut. Kehadiran sektor pariwisata yang semakin masif, ditambah dengan ramainya pendatang maupun warga asing yang menetap di wilayah strategis, secara tidak langsung mendorong terjadinya pergeseran hunian. Masyarakat asli yang tidak mampu bersaing dalam hal ekonomi maupun akses terhadap hunian, secara bertahap terdorong untuk pindah ke wilayah pinggiran yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi maupun sosial. Kondisi ini mencerminkan ketimpangan akses terhadap ruang hidup yang adil dan berkelanjutan bagi warga lokal. Pariwisata di Bali dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, sektor ini memberikan dampak positif yang luar biasa, seperti peningkatan pendapatan daerah, terbukanya lapangan kerja, dan berkembangnya infrastruktur. Namun di sisi lain, pariwisata juga membawa dampak negatif yang tidak dapat diabaikan, terutama bagi masyarakat lokal. Masuknya investasi asing, meningkatnya harga lahan, serta maraknya pembangunan fasilitas pariwisata seringkali menyebabkan warga asli kehilangan akses terhadap ruang hidup yang layak. Dengan demikian, pariwisata yang tidak dikelola secara inklusif dan berkelanjutan justru dapat menjadi ancaman besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat lokal di tanah mereka sendiri.

Untuk mengatasi dampak negatif gentrifikasi dan menjaga agar masyarakat lokal tidak semakin terpinggirkan, diperlukan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan sosial. Salah satu langkah penting adalah memperluas akses masyarakat terhadap rumah subsidi di kawasan strategis. Dengan begitu, warga lokal tetap memiliki kesempatan untuk tinggal di sekitar pusat-pusat kegiatan wisata, tanpa harus terdorong pindah ke pinggiran kota. Selain itu, pengawasan terhadap penyewaan properti, terutama melalui platform seperti Airbnb, perlu diperketat untuk mencegah spekulasi dan memastikan penggunaan properti sesuai perizinan. Hal ini juga dapat memaksimalkan penerimaan pajak daerah. Tidak kalah penting, pemerintah perlu meningkatkan infrastruktur dan layanan dasar di kawasan hunian lokal, agar perumahan subsidi tidak hanya menjadi tempat tinggal secara fisik, tetapi juga lingkungan hidup yang nyaman dan layak. Di samping itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal melalui pelatihan, dukungan usaha kecil, serta prioritas dalam perekrutan tenaga kerja di sektor pariwisata sehingga penerima tenaga kerja luar daerah diberi peluang yang lebih kecil. Kebijakan ini dilakukan agar masyarakat lokal Bali dapat memenuhi kehidupannya lebih layak dibandingkan dengan tenaga kerja luar. Langkah-langkah ini menjadi strategi jangka panjang untuk memperkuat posisi warga asli di tengah pesatnya perkembangan pariwisata Bali saat ini. 

Sumber:

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. (2024, 2 September). Perkembangan pariwisata Provinsi Bali Juli 2024. https://bali.bps.go.id/id/pressrelease/2024/09/02/717897/perkembangan-pariwisata-provinsi-bali-juli-2024.html

Suyadnya, I Wayan (2021) "Tourism Gentrification in Bali, Indonesia: A Wake-up Call for Overtourism," Masyarakat: Jurnal Sosiologi: Vol. 26: No. 2, Article 3.

DOI: 10.7454/MJS.v26i2.12930

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun